Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

(untittle)

Sumber Foto: rivetingphotos.blogspot.com Vito menghela napas lega karena telah berhasil lolos dari kejaran Danang. Namun sepatu sebelah kanan Danang masih digenggam Vito. Ia bergidik ketika membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti saat Danang menemukannya. Tapi, salah sendiri kenapa mulai jahil duluan menyembunyikan ponselku, batin Vino. Ia menutup rapat pintu ruangan tempat ia bersembunyi. Dan saat Vito membalikkan badan ada enam pasang mata yang tengah menatapnya penuh keheranan. Seketika tubuhnya terasa kikuk dan mati rasa seperti maling tertangkap basah menyuri sebelah sepatu. Mata-mata itu terus memburunya dengan tanda tanya. Jelas mereka heran dengan kedatangan tiba-tiba Vito di antara mereka di ruangan itu. Vito sendiri pun tidak sempat memeriksa dulu ruangan yang hendak ia jadikan tempat bersembunyi dari Danang. Karena panik dan takut keburu ditangkap sahabatnya yang sedang murka itu, jadi Vito asal masuk ruangan mana saja yang ada di dapat dijangkaunya dal

Di Bangku Taman Langit

Sumber Foto: home-for-writers.tumblr.com Suatu hari yang redup dan angin bertiup perlahan, ia datang dengan sebuah senyum khasnya, yang menampilkan jejeran giginya yang rapi. Tidak ada hal lain yang dapat kulakukan jika ia sudah tersenyum selain memberinya senyum balik yang juga tidak kalah sumringahnya. Lalu ia duduk di sampingku, di bangku taman yang selalu kami tempati untuk menghabiskan waktu bersama. Kali itu kami telah berjanji untuk makan siang bersama, di bangku taman itu. Kubuka kotak makan siangku, yang sekaligus kotak makan siangnya. Memang sudah seperti biasa, janji makan siang bersama berarti juga janji membawakannya sekotak makan siang gratis. Tapi, aku selalu senang melakukannya. Ah, jatuh cinta selalu membuat seseorang rela melakukan apa saja demi orang yang dicintainya itu. Setelah menyantap habis makan siangnya, ia menatap lurus ke depan, seperti menerawang sesuatu. Aku yang berada di sampingnya mengikuti arah pandangannya, namun tak ada apa-apa di depan san

Ketika Tak Ingin Terbangun Lagi

Ia menyapaku lewat mimpi semalam, tak benar-benar menyapa sebenarnya. Ia hanya tersenyum simpul, lalu berlalu. Jadinya aku mempercepat langkahku,  mencoba menjajari langkahnya. Aku ingat betul bagaimana penampilannya, dengan kebaya berwarna hijau tua, kerudung dengan warna senada, serta samping songket  juga selop hitam yang ia gunakan di hari pernikahannya 23 tahun lalu. bibirnya seperti biasa ia poles dengan lipstik merah kesukaannya. Ada hal lain yang kutangkap dari penampilannya. Ia tampak jauh lebih muda dari usianya.  Aku masih terus menjajari langkahnya. Hatiku ngilu, ketika berkali-kali kupanggil, namun ia tidak ada menoleh barang sedetik.  Namun aku mengikuti saja lagkahnya,  hingga sampai di suatu rumah yang sangat asing bagiku. "Ini bukan rumah kita", kataku keheranan mengapa ia membawaku ke sini. Tetap tak ada jawab. Meski keheranan,  tak urung aku ikuti juga ia masuk ke dalam rumah asing itu. Lalu aku lupa bagaimana selanjut