Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Anggaplah Kenang-Kenangan

Sumber foto: pixabay.com Teruntuk yang selalu kami panggil Bapak dan Ibu Dosen, Mungkin ini bukanlah puisi indah, tapi anggaplah ini sebagai hadiah Semacam kenang-kenangan terakhir kami, anak-anak didikmu. Bu, Pak, denganmu kami belajar menjadi dewasa Karenamu pula kami belajar percaya Kepada mimpi-mimpi, juga diri kami sendiri Memang, seringnya kami tampak tak peduli Pada pelajaran dan nasihatmu di kelas tadi Juga, seringnya kami membuatmu kesal Hingga menaruh di hatimu rasa sesal Apalagi ketika kau lihat wajah-wajah kami yang jenuh Padahal kau telah datang jauh-jauh Berniat memberi kami ilmu Tanpa rasa ragu, yang terpikirkan hanya agar kami tahu Kalau soal tugas… Maafkan kami terlampau sering lupa Selalu menunda, dan akhirnya membuatmu kecewa Kalau soal telat… Maafkan kami pernah membuatmu menunggu Membiarkanmu ditemani detik yang terus berlalu Menyaksikan pagi menjadi siang Sedangkan kami malah pergi dan tak kunjung d

Sendiri

Sumber foto: pixabay.com Aku memilih jalan menyepi Saat tak satu pun yang mengusik Meski alis berpasang-pasang mata terangkat sebelah, tanda tak yakin, mungkin juga meremehkan Aku memilih jalan menyepi Penatku bukan hingar bingar Ramai bukan lagi inginku, Dan sunyi tak lagi menyakiti Mungkin Benci telah membatu Tangis telah menyaru Sedang Maaf enggan menepi Lalu kita lupa jalan pulang Terperangkap sepi, diiringi amarah Hingga nanti Kita akan menjadi jiwa-jiwa penuh sesal catatan: dipublish di Notif Magz Edisi 8

Di Bawah Rimbun Akasia

Sumber foto: pixabay.com “Ras, kamu di mana?” tanya Ibu segera setelah aku mengangkat telepon pertamanya pagi ini. Suaranya terdengar tumpang tindih dengan suara lain di sekitarnya. Ucapannya pun hampir tak terdengar jelas di telingaku.        Aku hanya mendengar isak tangis yang tertahan dari suara di seberang sana. Sambil menerka-nerka apa yang telah terjadi, aku mencoba menenangkan Ibu. Jelas sekali aku dapat mendengar desahan napas berat dan suaranya yang bergetar di balik isak yang tertahan itu. Seketika aku dijalari rasa takut. Jantungku mulai berdebar cepat dan bulir-bulir keringat perlahan membasahi kening dan telapak tanganku. “Ada apa, Bu? Aku nggak bisa mendengar jelas ucapan Ibu kalau Ibu panik seperti itu,” ucapku mencoba menenangkan Ibu, juga menenangkan rasa yang tengah berpacu dalam dadaku. “Ayah...ayah masuk rumah sakit. Cepat pulang, ya, Ras.”              Ibu terdengar susah payah menyelesaikan kalimatnya di antara kepanikan yang masih teru