Sumber Foto: bianxm1007.tumblr.com
Aku baru saja akan
membidik riuhnya jalanan Kota Bogor sore hari, ketika tangan Yuke menepuk
bahuku.
"Aku lapar lagi,
bisa kita cari tempat makan dulu?" ucapnya dalam logat Jepang yang masih
kental, padahal ia sudah hampir tiga tahun di Indonesia dan berbicara bahasa
Indonesia setiap hari.
"Kau baru saja
makan, Yuke, dua jam lalu. Secepat itukah kau lapar?" tanyaku sedikit
menggoda.
"Sudah jangan banyak
bicara, Del, bawa aku ke tempat makan saja sekarang," Yuke sedikit
mendumel sambil tangannya mengelus-elus perutnya.
Tanpa banyak bicara lagi,
aku mulai beranjak dari Stasiun Bogor, tempat kami menjejakkan kaki lima menit
yang lalu. Yuke, si lelaki bermata sipit itu, mengekor di belakangku. Aku akan
mengajaknya makan di pinggiran Jalan Veteran yang tidak jauh dari Stasiun
Bogor. Di sepanjang jalan itu berjejer pertokoan tua yang masih saja ramai. Dan
di depan pertokoan itu banyak berjejer makanan kaki lima. Aku berniat mengajak
Yuke makan Doclang, salah satu kuliner Bogor yang berisi lontong atau ketupat
nasi yang dibanjur oleh saus kacang tanah dan dilengkapi oleh kentang dan telur
rebus, tahu goreng, dan juga ditaburi bawang goreng dan kerupuk.
Hanya perlu berjalan kaki
sekitar lima menit dari stasiun untuk mencapai kawasan yang juga dikenal
sebagai Jembatan Merah itu. Sepanjang jalan melintasi trotoar yang mulai ramai
karena jam memasuki pulang kantor, Yuke mengabadikan beberapa momen dengan
kamera DSLR-nya.
"Ini kampung
halamanmu, kan?" tanya Yuke kemudian setelah puas memotret.
"Iya..."
jawabku singkat.
"Kau tidak berniat
pulang ke rumah? Kenapa harus menginap di hotel? Ajaklah aku main ke rumahmu,"
kali ini Yuke yang menggodaku, menampakkan geliginya yang putih dan berbaris
rapi.
"Yaa...nanti aku
akan mengajakmu main ke rumahku. Ayo cepat, katanya lapar?" Aku berjalan
mendahulinya, dan ia ikut bergegas dengan ransel besar di pundaknya, juga satu
tas yang ia jinjing.
***
"Bagaimana
rasanya?" tanyaku setelah menghabiskan satu porsi piring doclang.
"Enak, Del! Ketupat
nasinya lembut dan bumbu kacangnya pas, masih ada terkstur dari kacang
tanahnya, tidak terlalu lembut," jelas Yuke dengan mulut penuh dengan
doclang.
Sambil menunggu Yuke
menghabiskan sisa doclang di piringnya, aku malah melamun, terkenang dengan
kota ini. Bogor yang telah membesarkanku, mengizinkanku terlahir dan beranjak
dewasa di atas tanahnya. Bogor pula yang pada akhirnya memutuskanku untuk
hijrah ke Jakarta. Aku masih memiliki rumah di sini. Seminggu sekali ayahku
mampir dan bermalam sehari di rumah kami. Tapi aku, sejak tiga tahun yang lalu,
seperti menghindari kota ini. Padahal aku tahu, aku rindu dengan segala yang
ada di sini. Hujan, hawa sejuk, jalanan pusat kota yang macet, delman dan
becak, jajanan tradisional, warganya. Mereka membuatku rindu. Segera aku
tersadar ketika Yuke menanyakan sesuatu padaku.
"Delia, itu
apa?" ia menunjuk dengan dagunya ke arah penjual kue tradisional yang
berada di pinggir tempat kami makan.
"Oh itu kue lepeut,
Ke. Kau mau mencobanya? Kuenya terbuat dari beras ketan putih atau hitam,
biasanya dicampur dengan kacang merah di dalamnya. Makannya harus dicocol dengan bumbu surendeng, kelapa
kering yang ditumbuk hingga halus lalu disangrai dan diberi bumbu rempah
lainnya dan dicampur dengan gula pasir," jelasku panjang lebar.
"Apa?
Le..leu..pet?" Yuke kesulitan setengah mati menyebut nama kue tradisional
khas Sunda itu. Aku menanggapinya dengan tawa terkekeh mendengar logat
Jepangnya itu. Aku menghampiri ibu penjual kue lepeut itu. Yuke sepertinya
penasaran, karena ia mengikutiku lalu ikut berjongkok denganku di samping si
ibu penjual.
"Lepeut-nya
berapaan, Bu?" tanyaku dalam bahasa Sunda. Yuke hanya menatapku dan si ibu
penjual bergantian.
"Sepuluh biji
delapan ribu aja, Neng. Mau berapa?" tanya si ibu penjual, sambil
mengeluarkan kantong plastik. Bersiap memasukkan lepeut-lepeut yang akan kami
beli.
"Saya mau sepuluh
aja, Bu."
"Oh, mangga, Neng. Sebentar, ya, Ibu masukin dulu ke kantong."
Aku merogoh dompet di
saku ranselku dan mengambil selembar uang dua puluh ribu rupiah. "Kembaliannya
buat Ibu aja," ucapku yang langsung disambut dengan ucapan terima kasih
bertubi-tubi. Aku hanya tersenyum kikuk karena ia masih saja menggenggam tanganku.
Sedangkan Yuke terus-menerus menuntutku penjelasan, karena ia tidak mengerti
apa yang telah aku dan ibu itu bicarakan.
"Itu pacarnya, ya,
Neng?" tanya si ibu kemudian menunjuk Yuke karena ia baru saja memotret
kami berdua. Lantas aku menggeleng.
"Bukan, Bu, dia
teman kerja saya. Dia baru pertama kali ke Bogor, terus dia liat kue ini jadi
minta saya belikan."
"Orang Cina, sanes?"
"Bukan, dia orang
Jepang."
"Kasepnya. Meni bodas kitu kulitna." (Cakep, ya. Sampai putih gitu kulitnya.) Aku hanya tersenyum simpul menanggapi ucapannya. Sudah lumayan lama juga aku
tak pernah mengobrol dengan bahasa Sunda. Percakapan kami terus berlanjut dan
Yuke mulai ikut dalam perbincangan kami, di penghujung senja yang hangat.
"Neng, asli
Bogor?" Tanya ia kembali.
"Iya, Bu. Tapi sekarang
lebih sering di luar kota, ngurus kerjaan. Ibu jualan setiap hari
sendiri?" Tanyaku tak mau kalah. Dan juga karena kulihat tak ada sanak
famili yang mendampinginya, padahal dapat kupastikan usianya sudah mulai sepuh
jika berjualan seorang diri.
"Sama suami, Neng.
Tapi suami Ibu mah tukang narik becak. Tuh, di sana." Si ibu menunjuk ke
arah Jalan Mantarena yang membelah jajaran toko ini.
"Anak Ibu kemana?
Kenapa nggak ditemani sama anaknya, biar Ibu aman jualan di sini," tanya
Yuke setelah kuajari ia bahasa Sunda karena ia terus-terusan memaksaku ingin
ikut nimbrung dalam percakapan ringan
kami. Tiga biji kue lepeut telah tandas ke dalam perutnya selama kami
bercakap-cakap dengan si ibu.
"Ibu sama Bapak
nggak punya anak, Den. Kami cuma hidup berdua aja."
Kemudian ada hening yang
mengoyak perbincangan kami. Menyerap semua kata-kata yang tadi begitu lancar
terlontar dari mulutku dan Yuke.
"Kalau, Neng,
sendiri, orang tuanya masih lengkap?" suara si ibu yang akhirnya memecah
kebisuan yang terjadi di antara kami.
"Tinggal ayah aja,
Bu. Ibu udah nggak ada." kurasakan kegetiran di ujung lidahku ketika
mengucapkan kalimat tadi.
"Sabar ya, Neng.
Ibunya pasti bangga punya anak secantik, Neng."
Ia mengelus lembut pipiku
lalu menyusurinya hingga dagu. Aku dapat merasakan, ia tengah merindukan
kehadiran seorang anak dalam hidupnya. Tapi Tuhan memberinya skenario lain atas
hidupnya. Jika ia diberi izin oleh Tuhan untuk memiliki anak, mungkin usianya
tak akan jauh beda denganku. Atau bahkan ia telah diramaikan oleh suara riang
cucu-cucunya dalam rumahnya.
Aku sendiri, setelah
mendapat elusan singkat tadi di pipiku, baru menyadari betapa aku merindukan
sentuhan seperti itu kembali. Aku merindukan sosok yang dulu sering membelai
lembut rambutku atau mengelus dan mencium pipi dan keningku. Aku merindukan
Ibu.
***
"Kau jadi rindu
ibumu, ya?" tanya Yuke yang tampak ragu, takut kalau saja aku tersinggung
dengan pertanyaannya.
"Iya. Sangat."
Kami telah menepi di
tempat lain yang lebih tenang dan sepi. Pertemuanku tadi dengan ibu penjual kue
lepeut telah membangkitkan kenangan yang sejak tiga tahun lalu sudah kukubur di
sini. Di kota kelahiranku. Percakapan singkat dengannya mampu memanggil kembali
seluruh rindu yang selama ini aku abaikan. Aku meninggalkan kota ini setelah
kepergian Ibu yang begitu mendadak. Aku hancur karena kehilangan itu. Aku
merasa semua kecerianku telah terkubur bersama jasad ibu. Jadilah aku seorang
pendiam dan penyepi. Untuk menemukan kembali keramaianku, aku memutuskan pindah
ke Jakarta. Aku membunuh setiap rasa kesepian karena kehilangan sosok ibu
dengan berpergian ke berbagai kota. Sekadar mengalihkan rindu yang sering kali
menyiksa dan menyudutkanku.
Namun, rasanya aku
keliru. Sejauh aku melangkah, ke mana pun aku pergi, aku akan kembali lagi ke
sini. Ke kota ini. Karena semua yang pernah kumiliki, masih tertinggal di sini.
Kenangan bersama Ibu. Perjalanan hari ini pun, perjalanan kembali ke rumahku,
menyadarkan aku, betapa banyak hari yang kulalui tanpa mengingatnya. Padahal
kuyakin, Ibu akan selalu menemaniku dalam setiap perjalananku. Betapa aku telah
lama melupakannya. Bahkan untuk sekadar mendoakannya apalagi berkunjung ke
makamnya. Betapa dosanya aku mengacuhkannya hanya ketika sepi datang
menghampiri.
Ibu...aku ingin pulang.
***
Ketika kau asyik menatap yang lain, yakinlah aku satu-satunya yang ingin menatapmu setiap hari, saat kau terbangun dari tidurmu hingga kau pejamkan lagi matamu.
Ketika kau lebih memilih berkumpul bersama teman-temanmu, percayalah aku tengah menungguimu di rumah untuk sekadar makan siang bersama.
Ketika kau jatuh cinta, yakinlah aku adalah satu-satunya yang mencintaimu lebih besar dari kekasihmu.
Yakinlah kau tak akan pernah kekurangan cinta dariku,
yakinlah kau tak akan pernah kekurangan doa dariku.
Karena aku, tanpa kau minta terlebih dahulu, telah rela memberinya untukmu.
Jika nanti kau temui sepi dalam hidupmu,
jika nanti kau temui sedih dan payah dalam harimu,
yakinlah aku selalu ada dalam setiap kau memejamkan mata,
yakinlah aku tak akan pernah meninggalkanmu meski yang lain berlari menjauhimu.
Kau dapat menemuiku dalam setiap doa-doa panjangmu yang kau selipkan namuku.
Kau dapat menemuiku, dalam setiap sepi yang tercipta karena rindumu.
-Ibumu
waduh kak cerita nya sangat mengharukan :(
BalasHapushohoho, terima kasih. semoga bisa menginspirasi untuk terus berbakti kepada ibu, ya :)
BalasHapus