Sumber foto: pixabay.com
“Ras, kamu
di mana?” tanya Ibu segera setelah aku mengangkat telepon pertamanya pagi ini.
Suaranya terdengar tumpang tindih dengan suara lain di sekitarnya. Ucapannya
pun hampir tak terdengar jelas di telingaku.
Aku
hanya mendengar isak tangis yang tertahan dari suara di seberang sana. Sambil
menerka-nerka apa yang telah terjadi, aku mencoba menenangkan Ibu. Jelas sekali
aku dapat mendengar desahan napas berat dan suaranya yang bergetar di balik
isak yang tertahan itu. Seketika aku dijalari rasa takut. Jantungku mulai
berdebar cepat dan bulir-bulir keringat perlahan membasahi kening dan telapak
tanganku.
“Ada apa, Bu? Aku nggak bisa
mendengar jelas ucapan Ibu kalau Ibu panik seperti itu,” ucapku mencoba
menenangkan Ibu, juga menenangkan rasa yang tengah berpacu dalam dadaku.
“Ayah...ayah masuk rumah sakit.
Cepat pulang, ya, Ras.”
Ibu terdengar susah payah
menyelesaikan kalimatnya di antara kepanikan yang masih terus bergumul dalam
dirinya. Belum sempat aku membalas ucapannya, sambungan telepon kami terputus.
Sepertinya ponsel Ibu mati kehabisan baterai atau karena gangguan sinyal di
tempatnya berada. Lalu terlintas bayangan wajah Ibu yang dibalut kegelisahan, menghadapi
situasi seperti ini seorang diri sedang kedua anaknya berada pada jarak yang
tidak mudah ia jangkau. Kulirik jam yang melingkar di tangan kananku, jarumnya
hampir beranjak mendekati angka sepuluh pagi. Lima belas menit lagi presentasi
seminarku dimulai, tapi kulangkahkan kaki kembali ke indekos untuk mengemasi
barang-barang yang kuperlukan. Aku harus lekas pulang.
****
Kupercepat langkah kakiku hingga
tanpa sadar hampir tertabrak sepeda motor yang melintas dari arah depanku. Aku
lalai ketika menyeberang jalan tadi tanpa menjulurkan tangan sebagai tanda
untuk menyeberang. Si pengendara motor lantas membuka kaca helmnya lalu
mengumpat dan meneriakiku.
“Sial! Lihat-lihat kalau nyeberang!
Udah bosen hidup kamu, ya?!”
“I..iya, Pak, maaf-maaf.”
Tanpa memedulikan omelan si
pengendara motor itu, kulanjut berjalan ke arah stasiun. Dapat kudengar ia
masih terus mengomel dan meneriakiku di belakang sana.
“Dasar anak nggak tahu sopan santun,
lagi dinasehati malah pergi!”
Aku tidak menghiraukan keadaan
sekitarku. Kepalaku terlanjur disesaki oleh pikiran-pikiran lain.
Pikiran-pikiran yang mengawang pada satu sosok pria paruh baya yang kini tengah
bertarung dengan penyakitnya. Membayangkan wajahnya tak urung membuat hatiku
diliputi rasa sesal. Seminggu ini aku telah mendiamkannya, tidak mengacuhkan
panggilan teleponnya, bahkan pesan-pesannya tak sampai kubaca. Aku terlampau
marah dengannya ketika ia memintaku berhenti melukis dan menyuruhku untuk lebih
fokus dengan kuliah strata satuku, yang juga dengan jurusan yang telah ia
pilihkan untukku.
“Aku
selalu menuruti semua kata dan kemauan Ayah. Bahkan aku telah melepaskan
mimpiku kuliah di jurusan seni dan memilih menuruti keinginan Ayah untuk masuk
akuntansi. Aku hanya memohon untuk dapat melakukan hal kecil yang kusukai, apa
itu masih aja membuat Ayah nggak suka? Ini semua, apa yang telah aku lakukan,
bukanlah mimpiku, tapi mimpi dan ambisi Ayah. Aku bukan Kak Banyu yang bisa
menuruti semua keinginan Ayah. Aku berbeda. Aku punya mimpiku sendiri. Tapi
Ayah udah mengubur mimpi-mimpiku itu, bahkan sebelum mereka sempat bersemi.
Ayah egois!”
“A..a..yah
gak la..rang Ras..lu..kis, ka..mu bis..luk..is di ..mah. Tap..i co..ba ..kar..ang
kur..angi ho..bi Ras it..u da.. le..bih fok..us ku..liah ..ang ..dah ma..u ting..kat e..nam.”
“Percuma!
Ayah tetap egois!”
Ucapanku
seminggu lalu kembali melintas dalam ingatanku, tumpang tindih dengan kata-kata
Ayah. Ingatan pada setiap kata dalam ucapanku itu kini berubah seperti
jarum-jarum kecil yang menusuk dadaku, lalu meninggalkan bekas berupa rasa
penyesalan yang dalam. Masih kuingat pula ketika kutinggalkan ia malam itu,
saat kami—aku, Kak Banyu, Ibu, dan Ayah—menghabiskan malam akhir pekan bersama
di teras depan rumah sambil mengobrol dan ditemani dengan empat cangkir cappuccino dan goreng pisang andalan
Ibu. Ayah kembali menyinggung soal pekerjaan dan kuliah Kak Banyu, yang tentu
saja penuh dengan kata-kata kebanggaan. Memang, sejak kecil Kak Banyu tidak
pernah mengecewakan Ayah. Ia selalu memberikan Ayah dan Ibu kebanggaan atas
kepatuhan dan prestasi-prestasinya di sekolah. Berbeda denganku yang memiliki
keinganan yang lain dari apa yang Ayah harapkan dan sudah ia tentukan atas
diriku. Aku memang tak sepintar atau sepatuh Kak Banyu, tapi aku ingin membuktikan
kalau aku pun dapat semembanggakan Kakakku itu dengan pilihanku sendiri, bukan
pilihan Ayah.
Suasana yang semula santai dan
hangat mulai dikikis oleh rasa tegang yang dingin. Ibu dan Kak Banyu yang
menyaksikan ketika aku dan Ayah saling berargumen memertahankan pendapat
masing-masing tidak banyak berkata apalagi berbuat banyak. Mereka hanya terdiam
di kursi rotannya masing-masing. Aku segera beranjak dari teras dan menghambur
ke dalam kamarku. Minggu pagi keesokan harinya, aku bergegas mengemasi ranselku
untuk kembali ke indekosku di Bogor. Lebih cepat dari rencana awalku yang akan
menghabiskan hari liburku sampai Selasa nanti di rumah. Baik Ibu maupun Kak
Banyu tak mampu menghalangi kepulanganku ke Bogor. Kutinggalkan rumah tanpa
berpamitan terlebih dahulu kepada Ayah yang ketika itu sedang membaca koran
paginya di beranda belakang rumah.
Setelah dua hari kepulanganku
kembali ke indekos, Ayah meneleponku terus-menerus seharian, dan tak ada satu
pun telepon atau pesannya yang kuacuhkan. Semakin aku mengingatnya, semakin
dadaku terasa sesak. Aku sungguh menyesal juga bersalah. Aku telah keliru
dengan keegoisanku sendiri. Aku pasti telah melukai perasaan Ayah. Ayah pasti
hanya ingin masa depanku terarah, tapi sampai saat ini aku masih saja belum
dapat memahami keinginannya. Rasa sesal dan bersalah itu kini berbaur menjadi
satu dengan rindu yang sangat dalam yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku
seperti telah kehilangan. Kurasakan mataku mulai mengabur oleh bulir air mata
yang mendesak di pelupuk. Sedang langkahku tak dapat kuperlambat dan pikiranku
terus mengawang ke mana-mana, menyebabkan aku beberapa kali menabrak orang yang
berjalan berlawanan arah denganku.
Ayah...
****
“Ayah terserang stroke, Ras.
Strokenya bertambah parah, bahkan afasianya juga ikutan kambuh. Semoga semuanya
baik-baik aja, ya. Kamu udah makan?” Jelas Kak Banyu ketika aku tiba di rumah
sakit.
“Iya, Ras, kamu lebih baik makan
dulu.” Ibu ikut menimpali di sela-sela kegelisahan yang terlihat jelas masih
bersemayam dalam kedua matanya. Aku pun dapat melihat kelelahan pada wajahnya.
Ah, Ibu, pintar sekali menyembunyikan perasaan.
“Iya, Bu, aku pergi mencari makan
dulu, ya.”
Setelah membeli sekotak makan siang,
aku memilih menepi di salah satu bangku di taman rumah sakit yang dinaungi oleh
pohon akasia. Sambil menikmati makan siangku, yang tak bisa senikmat biasanya,
aku merasa sedikit rileks dibuai semilir angin dan rindang daun akasia.
Sebagian hatiku memilih tetap diliputi kegelisahan, mengingat Ayah sempat tak
mengenali istri dan anak-anaknya sebelumnya. Selain mengidap stroke, yang menyerang
ayah tujuh tahun lalu karena tekanan darah tinggi, ayah pun mengidap afasia,
suatu gangguan berbahasa yang biasanya diakibatkan oleh cidera otak. Dan kutahu
cidera otak yang didapat ayah hingga membuatnya mengidap afasia karena
strokenya itu sendiri.
Selama bertahun-tahun mendampingi Ayah
yang mengidap afasia ini, membuatku mencari tahu dan belajar tentang penyakit
yang menyerang memori ini. Dibantu dengan seorang teman yang mempelajari
penyakit ini sebagai kajian ilmunya dari sisi bahasa, tidak juga membuat aku
mudah memahami jika benar-benar terjadi dan aku alami sendiri. Tak hanya kadang
tak mengenali orang-orang di sekitarnya, tapi Ayah pun sering kesulitan
mengucapkan kata sederhana sekali pun. Seingatku, tidak pernah mudah memahami
keadaan ayah jika afasianya sedang kambuh. Rasanya sedih. Sedih sekali setiap
kali menemui Ayah tidak mengenali siapa aku.
****
Ini adalah hari kedelapan Ayah
berada di rumah sakit. Ibu tak pernah jauh dari Ayah meski ia belum juga
siuman. Sedangkan aku dan Kak Banyu bergantian menemani Ibu di rumah sakit atau
pulang ke rumah sejenak untuk mengambil beberapa barang keperluan Ibu selama di
rumah sakit. Pagi ini Kak Banyu harus mengurus pekerjaannya, sedangkan Ibu
tengah menepi di mushola rumah sakit menunaikan dua rakaat solat sunah. Aku
diamanati untuk menjaga ayah. Setelah menghabiskan sarapanku, aku menghambur
masuk ke dalam kamar rawat ayah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Beruntung
saat aku masuk, ayah dalam keadaan terjaga. Kuberi ia senyuman penuh rindu. Ia
membalas dengan seulas senyum yang tidak kalah tulusnya. Namun, dapat kuartikan
tatapannya yang asing menatapku. Aku tahu, ia tengah mengingat-ingat siapa aku.
“Yah, udah enakan?” Yang kutanya
lagi-lagi hanya tersenyum. Setelah itu hanya ada kebisuan di antara kami. Aku
tengah berusaha membuatnya ingat, namun aku takut jika tindakanku membuatnya
panik, maka kubiarkan ayah diam, berharap ia akan segera mengingatku.
“To...to...long.” Ucap ayah kemudian
menghamburkan lamunanku. Ucapannya terbata-bata dan ia menunjuk ke arah gelas
yang kubawa. Dan kubantu ayah memegangi gelasnya selagi ia minum. Lalu, tidak
ada lagi percakapan yang terjadi di antara kami. Ayah malah asyik memandang ke
luar jendela. Memandangi deretan pohon akasia di halaman rumah sakit yang tadi
sempat kulalui.
“Ayah mau berjalan-jalan ke taman?”
Tanyaku kemudian yang langsung disambut dengan sebuah anggukan. Dengan bantuan seorang
perawat, aku memapah Ayah duduk kursi roda.
“Saya
boleh ajak ayah saya keluar, Sus?” tanyaku kepada perawat yang tadi membantuku
memapah Ayah.
“Silakan,
Mbak. Tapi tolong jangan terlalu lama, ya.”
Kubawa
Ayah mengitari taman rumah sakit, di pagi yang cerah dan hangat, dalam suasana
hati yang dirundung rindu pada seorang ayah yang sedang tak mengenali putrinya.
Kudorong kursi roda ayah dengan
perlahan. Sepertinya ayah sangat menikmati suasana pagi ini. Terlihat dari raut
wajahnya yang sama cerahnya dengan mentari yang bersinar di atas sana. Karena
ayah tak juga kunjung membuka obrolan denganku, akhirnya aku berinisiatif
mengajaknya mengobrol terlebih dahulu. Meski sepertinya sebagian besar
obrolanku tidak akan diacuhkannya.
“Yah? Ayah ingat nggak waktu aku
kecil ayah selalu mengajakku dan Kak Banyu bersepeda di taman komplek rumah
kita? Terus kalau ada tukang gulali dan es krim, aku dan Kak Banyu pasti
merengek minta dibelikan, namun ayah selalu jahil, bukannya dibelikan ayah
malah mengencangkan laju sepeda meninggalkan kami sambil terkekeh-kekeh.
Ayah
tidak memedulikan ucapanku. Ia hanya bungkam dan kedua matanya memandang lurus
ke depan. Apa yang sedang ia pikirkan jika ia tengah tak mengenali orang-orang
di sekitarnya? Karena Ayah masih bungkam, aku lanjut bicara.
“Atau
ayah ingat ketika mengantar aku pertama kali sekolah? Aku gugup dan ayah terus
berusaha menenangkan aku dengan mengajakku berdansa di halaman sekolah
sampai-sampai orang-orang memerhatikan ke arah kita? Oh atau ini, ketika ayah
diam-diam menyeka sudut-sudut mata ayah ketika aku menerima penghargaan ketika
dinobatkan sebagai lulusan terbaik dari sekolahku?” Bibirku kelu seketika, tak
sanggup untuk melanjutkan ucapanku. Tapi aku akui mengingat kenangan itu semua
membuatku diliputi perasaan senang yang begitu nyaman. Aku rindu hari-hari itu
dapat terulang kembali. Aku terus melanjutkan ucapanku.
“Aku
juga kadang diam-diam sangat menanti hari Minggu tiba, karena ayah akan
mengajakku makan bubur di depan jalan komplek rumah kita pagi-pagi sekali
sambil menggandeng sebelah tanganku dan sebelah tanganmu yang lain mengapit
koran hari itu. Waktu cepat banget berlalu ya, yah? Sekarang baik Kak Banyu
maupun aku, udah beranjak dewasa. Dan kami berharap ayah dan ibu terus dapat
mendampingi kami. Cepat sehat ya, Yah.”
Setelah menyelesaikan ucapanku, aku
merasakan hatiku bergetar. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan
segenap luapan emosi yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Sedang aku tidak
ingin menarik perhatian orang-orang di sekelilingku jika tiba-tiba aku menangis
sesenggukan sambil mendorong kursi roda ayah. Sebelum aku akhirnya benar-benar
menangis, kubawa ayah menepi ke salah satu bawah pohon akasia di taman rumah
sakit.
Aku duduk di bangku kayu seberang
ayah. Ia sepertinya masih belum mengingatku. Bahkan mungkin belum dapat
mengingat dan mengucapkan sepatah kata pun. Kepalanya menoleh ke arah kanan dan
kirinya. Ada seulas senyum pada bibirnya. Wajahnya pun tampak sedikit cerah,
dan semoga ini pertanda baik kalau ayah akan segera pulih. Dari wajah ayah itu,
aku bisa artikan bahwa ayah tengah menikmati suasana ini—rimbun pohon akasia,
hembus semilir angin, dan sinar mentari pagi yang menyelinap menerpa kami dari
balik daun dan ranting-ranting akasia. Ayah memang selalu menyukai suasana
tenang seperti ini. Di rumah kamipun, ayah sengaja membuat bangku kayu di bawah
pohon jambu batu yang berjajar rindang di halaman belakang rumah, sebagai
tempat ia menepi di pagi hari yang cerah atau senja yang tenang. Tentu dengan
segelas kopi hitam, goreng tape singkong atau pisang goreng, dan juga koran
hari itu.
Pikiranku lagi-lagi tengah mengawang
entah kemana saat tiba-tiba kurasakan ada sebuah sentuhan lembut di pipiku yang
kemudian mengusap sudut-sudut mataku yang mulai basah kembali. Ayah tengah
tersenyum kepadaku dan pandangan kami bertemu. Kulihat cinta dan kasih yang tak
pernah padam dalam matanya yang coklat tua, di bawah lipatan kelopak matanya
yang semakin menua dan sudut-sudut matanya yang keriput. Kuraih lalu kuelus
pelan punggung tangan kanannya. Masih tidak ada kata-kata yang terlontar dari
mulutnya.
Kuedarkan pandangan sekilas ketika
matanya seperti menelanjangi pikiranku meski belum ada tanda-tanda ia
mengenaliku sebagai anaknya. Di kejauhan kulihat seorang bocah lelaki
menggenggam sebuah balon gas biru tua dan dalam genggaman tangannya yang lain
ia menggandeng tangan seorang pria yang kutaksir masih berusia sekitar 35 tahun
berjalan menyusuri jalan batu setapak yang melintang di tengah taman. Mereka
pasti ayah dan anak, terkaku. Melihat kebersamaan mereka mengingatkanku akan
suatu hal. Segera kulirik ponselku dan menemukan sebuah memo kecil di layarnya.
Di sana tertera tanggal dan sebuah
catatan di bawahnya. Hari itu hari ulang tahun ayah dan juga bertepatan dengan
hari ayah. Kembali kuraih tangannya dan kukecup punggung tangannya sebagai
tanda baktiku kepadanya.
“Selamat ulang tahun dan hari ayah,
ya, Yah.”
Di luar dugaanku, setelah aku
mengucapkan selamat untuknya, Ayah kembali mengenaliku. Ia menyebut namaku
meski masih dengan terbata-bata. Dan juga tengah mencoba mengatakan sesuatu.
“La...ras. Teri...ma kasih. Sela..lu
jadi anak yang mem...bang...gakan un..tuk a..yah, ya.”
Inilah kali pertama ayah memanggil
namaku sejak aku tiba di sini dan mendapati ia tengah berjuang melawan
penyakitnya di ruang operasi, lalu menemuinya setelah siuman dan ia tak
mengingatku. Aku bangkit dari dudukku dan langsung merangkul bahunya dari
belakang. Kami hanya berdua di sana. Tidak ada siapa-siapa lagi selain kami
yang ditemani akasia dan mentari pagi.
Ya, hanya ada kami berdua, diiringi
berjuta rasa haru yang meluap dan bahagia yang sederhana lewat kisah antara
ayah dan anak gadisnya. Hanya ada kami berdua, di bawah rimbun akasia yang ikut
menemani bahagia kami. Di bawah rimbun akasia, ayah kembali mengingatku dan
terbata-bata menyebut namaku.
Selamat
ulang tahun. Sehat dan bahagialah selalu, Ayah. Bersama kami dan rimbun akasia.
Catatan: Cerita pendek ini adalah variasi
dan pengembangan atas postingan “Afasia dan Akasia” milik Utami Utar pada blog
pribadinya utamiutar.com. Udah pernah diterbitkan juga di Notif Magz Edisi "Happy Father Day".
Komentar
Posting Komentar