Langsung ke konten utama

Anggaplah Kenang-Kenangan


Sumber foto: pixabay.com


Teruntuk yang selalu kami panggil Bapak dan Ibu Dosen,

Mungkin ini bukanlah puisi indah,
tapi anggaplah ini sebagai hadiah
Semacam kenang-kenangan terakhir kami,
anak-anak didikmu.

Bu, Pak, denganmu kami belajar menjadi dewasa
Karenamu pula kami belajar percaya
Kepada mimpi-mimpi,
juga diri kami sendiri

Memang, seringnya kami tampak tak peduli
Pada pelajaran dan nasihatmu di kelas tadi
Juga, seringnya kami membuatmu kesal
Hingga menaruh di hatimu rasa sesal

Apalagi ketika kau lihat wajah-wajah kami yang jenuh
Padahal kau telah datang jauh-jauh
Berniat memberi kami ilmu
Tanpa rasa ragu, yang terpikirkan hanya agar kami tahu

Kalau soal tugas…
Maafkan kami terlampau sering lupa
Selalu menunda, dan akhirnya membuatmu kecewa

Kalau soal telat…
Maafkan kami pernah membuatmu menunggu
Membiarkanmu ditemani detik yang terus berlalu
Menyaksikan pagi menjadi siang
Sedangkan kami malah pergi dan tak kunjung datang

Kalau soal nilai…
Kau selalu berharap kami memiliki nilai tinggi
Berharap pelajaranmu akan mudah kami mengerti
Nyatanya, kami melakukannya setengah hati
Didengar, tapi lekas keluar kuping kiri
Bahkan, terlintas ingin berhenti

Bu, Pak, mungkin kami terlampau nakal
Lalu sering terlepas lisanmu kalau kami anak yang bebal

Tapi percayalah, kami menyadari bahwa kau menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang mengenal kami yang ingin melihat kami berkembang
Bukan tertinggal di belakang, sedangkan yang lain sudah terlebih dahulu terbang

Yakinlah, di balik sikap tak acuh kami, sebenarnya kami rindu
kepada hari-hari yang kita lalui di kelas dulu

Yakinlah, bahwa kami menyadari di balik sikap keras dan tegasmu,
Kau rela pertama jatuh demi menjaga kami untuk tetap utuh
Kau rela berada di titik terendah demi melihat kami menggapai masa depan yang indah
Kau yang selalu tampak tangguh agar kami tak lekas menjadi rapuh

Bu, Pak, mohon maaf jika kami masih saja tak mengerti
arti kekesalanmu,
arti kemarahanmu,
arti kecerewetanmu

Terima kasih, untuk setiap harap yang merupa menjadi doa
Terima kasih, untuk setiap peluh yang menjelma pengorbanan
Terima kasih, untuk setiap kata yang mengungkap cinta
Terima kasih, untuk hari-hari yang berlalu, semoga kelak menjadi rindu
Terima kasih, untuk segala nasihat yang menjadikan kami kuat

Sungguh, ini bukanlah puisi indah, semoga bisa menjadi hadiah
Sebagai kenang-kenangan, dari kami yang jarang membuatmu senang

Anak-anakmu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj