Jatuh cinta
pada pandangan pertama saat membaca kumpulan cerpennya yang pertama: Milana, membuatku ketagihan buat
mengikuti semua karya-karya penulis yang akrab dipanggil Bara ini. Cuma dua
bukunya yang belum sempat dibaca, Angsa-Angsa
Ketapang (puisi) dan Radio Galau FM
(novel). Setelah jatuh cinta, emm...mungkin rasa yang selanjutnya itu adalah
penasaran. Penasaran sama cerita apalagi yang Bara suguhkan buat para
pembacanya. Penasaran apakah ceritanya bakal semenarik karya sebelumnya, atau
malah sebaliknya. Dan penasaran apa ada something
new yang Bara kasih ke pembacanya di setiap karyanya yang baru.
Something new ini akhirnya aku temukan di
bukunya yang ketujuh: Jatuh Cinta Adalah
Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, kumpulan cerpennya yang kedua. Selain judulnya
yang lumayan panjang, dari segi isi cerita pun ada sesuatu yang beda dari buku-buku
sebelumnya. Kelimabelas cerpen yang ada di dalamnya, semuanya mengusung satu
tema utama. Bisa dilihat dari judulnya, cerpen-cerpen tersebut mengisahkan sisi
lain dari jatuh cinta. Melalui cerpen-cerpennya tersebut, Bara seolah pengin mengatakan
bahwa selain memiliki sisi yang manis, cinta pun memiliki sisi pahitnya, sisi
gelapnya. Tapi kayaknya, sisi gelap cinta ini sering kali dilupakan bagi orang
yang sedang mengalaminya. Kalaupun nggak dilupakan, ya diabaikan. Mengetahui tapi
memilih nggak mengetahuinya. Jatuh cinta memang menjadi momen yang
menyenangkan. Semuanya tampak indah, bahagia, dan rasanya semangat terus,
pengin tersenyum terus. Tapi kalau kita sampai terlarut di dalam pusaran
rasanya dan menjadi terbuai, kita nggak punya kesempatan untuk mempersiapkan
diri untuk bagian atau momen terburuk dari jatuh cinta. Karena jatuh cinta
nggak melulu tentang rasa yang terbalas, ada kalanya malah harus melepaskan—bertepuk
sebelah tangan. Karena jatuh cinta nggak melulu tentang kebahagian, tapi juga
tentang air mata, kesakitan, amarah, dan benci. Karena jatuh cinta berarti
menuntut si pecinta menyiapkan dirinya untuk dua kemungkinan, untuk yang
terbaik dan terburuknya. Bagian terburuknya itu digambarkan oleh Bara dengan
frase “bunuh diri”. Begitu, sih, yang aku tangkap secara garis besarnya dari
buku ini. Kalau kalian yang udah baca gimana?
Buat menemukan
setiap pesan dari setiap cerpen, aku sendiri nggak cukup sekali baca. Beberapa cerpen
baru aku pahami setelah membacanya dua kali. Beberapa yang lain bahkan sampai
ada yang tiga kali. Nggak cukup itu aja, aku juga sampai meminta salah seorang
teman dekatku buat membacanya, tujuannya sih, biar ada kawan sharing kalau buntu nentuin inti atau makna
cerita dan pesan dari cerpen yang lagi dibaca. Kalau baru sekali dibaca rasanya
kurang greget karena nggak nemu feel-nya.
Yang langsung kerasa dari kumcer ini, sih, rasanya yang nyastra banget. Banyak permainan tanda dan perumpamaan yang Bara
tampilkan di dalamnya. Biar nemu gregetnya itu, pembaca diminta buat lebih jeli
menangkap tanda yang ada. Karena yang aku dan temanku rasakan adalah setiap part cerita, paragraf, atau bahkan kata
ada makna tersembunyi di dalamnya, misalnya kayak yang ada di dalam cerpen yang
berjudul Seribu Matahari untuk Ariyani,
dengan penggunaan kata “matahari” dan “pohon”. Jadi, selain terhibur dengan
ceritanya, pembaca pun diajak berpikir pada waktu bersamaan. Seru kataku,
cerdas kata temanku.
Dari semua
cerpen, yang paling kusukai itu Nyctophilia.
Ending-nya itu yang so surprising! Kalau yang masih bikin
mikir sampai sekarang itu Bayi di Tepi
Sungai Kayu Are, agak-agak mistis gimana gitu auranya, hehehe. Keseluruhan cerpennya,
sih, seru dan menghibur, dan patut dibaca buat menemani akhir pekan ini buat
kalian yang belum membacanya. Tapi...memang benar, ya, nobody’s perfect. Secantik atau segantengnya seseorang, pasti punya
kelemahannya. Sama kayak Jatuh Cinta
Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri ini. Cerita yang menarik nggak
menjamin nggak ada kekurangan di dalamnya. Kekurangan yang aku temui itu masih
di persoalan kesalahan pengetikan aja, sih. Kayak yang ada di halaman 101
berikut ini,
“Sementara Mariani, masih
merasakan sesuatu yang tak nyaman sesuai telepon dari Lina, adiknya.”
Kata “sesuai”
pada kalimat di atas maksudnya “seusai” kali, ya. Terus aku temui lagi di
halaman 239,
“Mulut pistolnya hanya berjerak
sejengkal dari pelipis Mustafa.”
Nah, kalau
kalimat di atas kata “berjerak” maksudnya “berjarak” mungkin, ya. Karena aku
udah mencari di kamus nggak ada kata dasar “jerak”, pun udah disisipi awalan
jadi “berjerak” tetap nggak nemu, hehehe. Selebihnya oke banget lah! Buat pembaca
sekaligus penulis pemula, buku ini bisa jadi bahan referensi buat mengembangkan
ide dan nambah-nambah kosakata baru yang belum pernah dengar sebelumnya.
Eh, dengar-dengar
bulan Juli mendatang, Bara bakal merilis (lagi) novel terbarunya. Kali ini tema
yang diusung mengenai Love Cycle yang
juga masih menggandeng Gagas Media sebagai penerbitnya. Nah, buat teman-teman
yang penasaran sama karya terbarunya Bara, yuk kita nantikan launching-nya Juli nanti dan kita lihat
apa lagi yang bakal Bara sajikan buat kita. Sambil menunggu launching-nya, kita sambil nabung yuk, Guys ;)
NB: Aku
lihat di bukunya yang ketujuh ini, Bara kelihatan semakin “matang”, baik dari
segi tema, cerita, konflik, maupun gaya penulisannya. Ada beberapa hal yang aku
rasa berubah dan berbeda dari buku sebelumnya, terutama Kata Hati dan Cinta. Buat
Kak Bara, kalau baca postinganku ini, sukses terus untuk karya-karyanya dan
semoga kesuksesannya itu nggak lekas membuat tinggi hati ya, Kak J
Saya berani untuk jatuh cinta lagi
BalasHapus