Langsung ke konten utama

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!



"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman.

"Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku-set. Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri.

Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelajahi Jakarta sekali lagi. Selama menunggu Trans Jakarta di halte UNJ, kubaca ulang daftar acara yang ingin kulakukan hari itu dalam catatan di ponselku. Pertama adalah mendatangi kedai kopi yang nyaman untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum kuselesaikan. Dan tentu juga kedai kopi yang bisa diduduki berlama-lama sambil internetan tanpa harus terganggu dengan antrean waiting list. Asumsiku selama dalam perjalanan adalah melihat Stasiun Manggarai dan Stasiun Kota yang lengang daripada hari biasanya. Tidak sumpek, tidak riuh, tidak dipenuhi dengan orang-orang yang berlarian mengejar kereta. Nyatanya dugaanku meleset jauh.

Memasuki Stasiun Manggarai, kehadiranku di sana disambut oleh antrean calon penumpang yang mengular panjang di vending mechine KRL. Hari itu adalah hari libur yang kukira orang-orang akan lebih memilih diam di rumah, berkumpul bersama keluarga, dan mengikuti rangkaian lomba 17-an yang dirancang semeriah mungkin oleh karang taruna dengan iming-iming hadiah menarik mulai dari satu set alat sekolah sampai kompor gas, atau sekadar menanti siaran langsung upacara mengibaran dan penurunan Sang Saka di Istana Negara di sejumlah stasiun televisi. Hari itu adalah hari libur yang kukira semua orang akan memilih menghabiskannya seharian di rumah masing-masing karena alasan besok masih harus pergi kerja, menuntut mereka berangkat pagi dalam keadaan tubuh segar bugar, menampung energi untuk siap menghadapi rentetan kemacetan dan pekerjaan esoknya, bukannya dihabiskan untuk pergi rekreasi di bawah cuaca terik, berdesak-desakan di kereta dan jalanan. 

Pemandangan riuh ini berlanjut sampai Stasiun Kota, yang jika boleh kusamakan ramainya sudah seperti liburan panjang sekolah atau arus mudik di hari besar keagamaan. Kedai kopi yang kutuju pun tidak dapat lepas dari keriuhan ini. Kedai yang biasanya hanya dimasuki dua sampai (paling banyak) lima orang saja, hari itu berubah menjadi kedai yang ramai pengunjung. Barista yang biasanya kulihat hanya satu yang melayani pelanggan, kemarin ketiganya berada di balik meja kasir dan mesin espresso. Kedai diramaikan terutama oleh para staf KRL yang kebetulan sedang memiliki acara di sana, karena sebelum aku menggapai pintu keluar setelah turun dari kereta, lobi stasiun telah dipadati oleh perangkat kamera dan seseorang tengah dikerumuni. Mungkin sedang ada wawancara dengan salah satu petinggi staf KRL oleh awak wartawan. 

Sudah kudapatkan kursi nyaman dengan letak yang strategis agak menyudut, akses internet, stop kontak untuk men-charge laptop, dan tentu saja segelas Java Chip dengan whipped cream dan saus cokelat melimpah di atasnya. Jangan terganggu dengan obrolan dan suara tawa yang nyaring dari orang-orang di sekitarmu Tujuanmu ke sini adalah untuk menyenangkan diri, bersantai. Aku mengulang kalimat itu di dalam hati bagai mantra agar kegiatanku tidak mudah terganggu dengan kehadiran mereka yang ramai. 

Pukul dua lebih sepuluh menit aku selesai dengan pekerjaanku. Java Chip-ku belum tandas habis, aku masih memiliki waktu beberapa menit lagi duduk di sana sambil menyaksikan pemandangan yang tertangkap mataku. Barista yang memanggil nama pelanggan dan menu pesanannya, tiga orang remaja putri yang duduk melingkar di tengah ruangan dengan tawa yang berderai setelah salah satunya berkelakar sesuatu, seorang pria duduk tenang bersandar pada tiang ruangan dengan earphone di telinganya-mungkin sedang mendengarkan musik, segerombolan staf KRL yang memenuhi satu-satunya meja panjang yang ada di sana, mengobrol lalu tertawa. Kurekam dan kuputar kembali apa yang baru saja kulihat di depan mata dalam kepalaku. Entah untuk alasan apa, aku selalu suka melihat orang-orang melakukan kegiatan mereka, samar-samar mencuri dengar obrolan mereka, lalu mengulum senyum jika mendengar celotehan lucu atau romantis. Sometimes, life is too good to be alone. Sendiri tidak selalu kau sepi dan merasa sunyi, bukan? Dengan sendiri, kau menangkap lebih banyak hal yang tidak kau dapatkan jika hidupmu sendiri sudah terlalu ramai. 

Satu list terlaksanakan! Selanjutnya menikmati tampilan Jakarta tempo dulu. Lagi-lagi, di luar dugaanku, Kota Tua ramai luar biasa. Rasanya seperti liburan saat lebaran. Ada yang datang berduaan, ada yang berkelompok dengan teman-temannya, ada juga yang memboyong keluarga besar dan menggelar tikar dan mengeluarkan bekal dari rumah. Karena museum-museum tutup, mereka memadati setiap jengkal jalan, membuat ruang orang yang berlalu lalang semakin sempit, belum lagi ditambah dengan penjual yang menggelar dagangannya. Panas terik tidak menghalangi mereka bercengkrama ria sambil mengabadikan momen "merdeka" mereka melalui kamera ponsel. 

Kuceritakan dengan menggunakan frasa "momen merdeka", karena menurutku berekreasi di hari libur yang sehari ini adalah momentum mereka memerdekakan diri dari desakan tugas dan pekerjaan. Sebagai tanda bukti bahwa mereka tengah merayakan kemerdekaan mereka dari penat rutinitas pekerjaan. Merdeka bagi mereka tidak lagi dimaknai setinggi tiang bendera dan seagung Merah Putih yang berkibar di ujungnya. Makna merdeka bagi mereka, yang memang benar-benar membutuhkan rehat sejenak ala kadarnya dan pas di kantong, menjadi sebatas bisa meluangkan waktu berkumpul bersama dengan yang terkasih. Berjalan sambil berpegangan tangan, sesekali berfoto bersama, kemudian duduk-duduk santai sambil menikmati sebotol Teh Botol Sosro dan aneka makanan yang dijajakan di sana, dengan harga terjangkau, yang penting semua suka, semua senang. Merdeka bagi mereka menjadi kata sederhana, sesederhana berjalan mengitari area Kota Tua ditemani sang kekasih yang rela diajak panas-panasan. 

Senyum kembali hadir di bibirku. Merasa terpanggang di bawah sengatan matahari sudah pasti, tapi sekali lagi aku menyaksikan hal-hal yang mungkin tak kusadari selama ini, menyimpulkannya, lalu membagikannya kepada kalian dalam tulisan ini. Aku hadir di antara mereka sebagai orang asing yang mereka temui sepintas, tapi aku dapat menjadi penerus kisah mereka di sini kepada kalian. Juga, aku menyaksikan Jakarta yang murah, yang kotor, yang sumpek. Bukan Jakarta yang megah, maju, dan angkuh. Di sini pulalah aku memahami sebuah konsep, terkadang kemegahan yang kau lihat dari depan menyisakan sekelumit kesederhanaan di baliknya. Menjadikan kemegahan itu utuh. Bukankah tidak berarti megah jika tidak ada kata sederhana?

Beberapa momen yang sempat kuabadikan kemarin, semoga dapat menemani harimu.


Museum Fatahilah tampak samping



Sisi samping Gedoeng Jasindo. Di depan pintunya ramai ibu-ibu yang sepertinya habis menghadiri upacara bendera duduk sambil bersantai.



Ayo, jalannya yang tertib, yaa :)



Bersenang-senang tentu boleh, tapi sehabis makan sampahnya tetap dibuang ke tempat seharusnya, ya. Jadilah masyarakat Indonesia yang bertanggung jawab. Karena merdeka bukan berarti bebas melakukan apa pun, termasuk seenaknya membuang sampah. Merdeka tapi tetap pada aturan dan batasannya :)



Oya, kalau merdeka versimu seperti apa? :)

Komentar

  1. Kayak dejavu pas bacanya,, waktu jenjalan sama istri ke lokasi ini

    BalasHapus
  2. seru..ramai banget....

    eh..mba... sorry koreksi ya.. itu maksudnya.. ayoo.jalan yang tertib ya..... bukan terbit.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waahhh makasih buat koreksiannya! :)
      *ketawan masih belepotan deh, nulisnya hehehe*

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku