Langsung ke konten utama

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery



Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali. 

Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih. 

Jawabanku mungkin serasa tidak masuk akal. Aku rela menempuh jarak jauh, dengan kondisi badan lelah dan mengantuk, menerjang macetnya Ibukota hanya ingin memerangkap lalu membingkai sesering mungkin memori kenangan yang terbentang di sepanjang jalan yang aku lalui. Aku memang dilahirkan dan tumbuh besar di Bogor. Tapi, cerita hidupku tidak akan terlepas dari kota metropolitan ini. 

Setiap dua minggu sekali di akhir pekan, ketika aku masih di taman kanak-kanak dan tahun-tahun awal sekolah dasar, berkunjung ke rumah nenek adalah kegiatan rutin kami-aku, Mama, dan Papa. Pergi pagi dari rumah kami di Bogor menuju rumah Nenek di bilangan Gajah Mada, Jakarta Barat. Sepanjang jalan Papa akan banyak bercerita tentang tempat-tempat yang kami lalui. 

"Ini namanya Museum Gajah, soalnya ada patung gajahnya di depan, lihat nggak?" jelasnya ketika kami melewati Museum Nasional di Jalan Merdeka Barat.

"Ini Bundaran HI, patung yang di tengah itu namanya Patung Selamat Datang. Jadi simbol penyambutan selamat datang buat orang-orang yang datang ke Jakarta. Di waktu-waktu tertentu air mancurnya muncul tuh, Ti. Nah, di seberangnya itu Hotel Indonesia," ceritanya kala kami melewati Bundaran HI. Dan cerita yang paling termakan olehku hingga benar-benar percaya adalah ketika Papa berceloteh mengenai Pantung Dirgantara atau Pancoran.

"Ini namanya Patung Pancoran. Tahu nggak, Ti, kalau malem nih, habis magrib, patungnya turun ke bawah, buat minum, makan, mandi. Kalau udah beres, nanti dia naik lagi ke atas. Terus kalau tangannya pegel, dia tukar tangan lainnya." Aku yang duduk di pangkuannya di balik kemudi terbengong-bengong memandang patung yang ditunjuk. Takjub patung sebesar itu hidup seperti manusia. Dan setelah besar dan paham, Papa hanya terkekeh setiap aku menuntut alasan kenapa membodohi anaknya. "Biar kamu nggak tidur terus selama di jalan," begitu alasannya.

Setelah sampai di rumah Nenek, biasanya sudah ada Om yang juga berkunjung serta Koko yang tinggal menemani Nenek di rumahnya yang mungil. Kami akan mengelilingi meja makan dan menyantap berbagai kudapan ringan seperti roti, biskuit, atau kue yang dibawa Mama atau sengaja disiapkan Nenek. Gelas kopi terhidang untuk Papa, Mama, dan Om. Cangkir teh juga ada, menjadi minuman Nenek. Tidak lupa gelas-gelas susu untukku dan Koko. Biasanya susu bubuk atau murni, kadang juga susu kedelai yang dibeli Nenek dari penjual yang setiap hari lewat depan rumahnya. Sambil bersantap, obrolan terus mengalir, sesekali dihiasi adegan Mama membantu Nenek mencuci piring atau mengobrol mengenai resep-resep andalan Nenek. 

Acara di ruang makan berpindah ke ruang tamu. Menyaksikan Papa dan Om bertelanjang dada sambil mengobrol dan merokok. Aku dan Mama duduk-duduk di lantai yang sejuk. Kalau pohon belimbing Nenek sedang berbuah lebat, suasana menjadi semakin riuh. Papa, Om, dan Koko akan saling memetik belimbing yang sudah masak. Kalau ada yang salah petik karena buah masih hijau, Nenek akan langsung berteriak, "Lihat dong itu, buahnya masih mentah. Lo orang ngerusak belimbing gua, tahu nggak, hah?" dengan logat Cinanya yang kental. Biasanya di jam-jam makan siang, berbagai penjaja makanan hilir mudik datang bergantian. Tukang siomay, batagor, bakso ikan, rujak buah, otak-otak bakar, sampai es krim Walls. Inilah momen menyenangkan dan paling ditunggu-tunggu, karena tanpa meminta terlebih dahulu, Papa, Om, atau Nenek akan menawari dan langsung memberhentikan penjual sebelum aku sempat menjawab. 

Bertambah seru ketika Tante, Om, dan ketiga sepupuku yang lainnya mulai ikut berkumpul. Rumah Nenek tepat berada di tengah-tengah antara rumah Tante dan Om, adik-adiknya Papa. Berkunjung ke rumah Nenek berarti juga berkunjung ke rumah Tante dan Omku. Sepeda-sepeda mulai dikeluarkan saat matahari tidak lagi terik. Kalau tidak sedang bersepeda, kejar-kejaran adalah kegiatan kami, sang cucu-cucu Nenek. Blacky, anjing milik Koko ketika itu, ikut nimbrung dalam permainan kami. Para orangtua duduk-duduk di teras rumah mengawasi kami sambil mengobrol dan ngopi. Kadang tetangga sebelah kanan rumah Nenek yang jadi teman akrab Om dan Papaku ikut dalam obrolan keluarga kami, sambil mengasuh burung-burung peliharaannya yang berkicau riang. 

Sore hari adalah waktunya kami pergi ke kedai bakmi langganan keluarga, Bakmi Kusdi, di sebuah gang sebelah kanan dari jalan utama Gang Keselamatan Dalam. Hari kami berujung berkumpul di ruang keluarga, menonton televisi, yang akan sepenuhnya dikuasai Nenek seorang untuk menonton drama Mandarin kesukaannya. Malam di rumah Nenek adalah malam terpanjang di masa kecilku, karena hanya di rumah Nenek aku bisa tidur larut malam.

Terkadang, kalau sedang bosan diam di rumah Nenek, Tante akan memboyong kedua anaknya, aku, dan Mama ke mall terdekat, Plaza Gajah Mada. Saking dekatnya, kami hanya cukup berjalan kaki selama 10 menit. Puas main di Time Zone dan berakhir memesan bertangkup-tangkup burger, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng di restoran cepat saji favorit semua orang. Dan sepupuku akan mulai menakut-nakutiku bahwa sang patung dengan rambut merah dan baju kuning terang yang sedang duduk tersenyum lebar sambil menaikkan sebelah kakinya itu akan hidup dan menghampiri kami. 

Roti dan kue yang dibeli dari Holland Bakery, yang tepat ada di seberang jalan rumah Nenek, menemani keluarga kami selama bertahun-tahun di acara-acara spesial, seperti Imlek. Hidangan dari salah satu bakery ini termasuk hidangan istimewa bagiku ketika itu, mulai dari alasan rasa, bentuk, hingga karena Nenek pun penggemar hidangan roti dan kue dari bakery ini. Kalau tidak salah ingat, waktuku kecil sepertinya memang bakery satu ini yang termasyur. Saat melewati bangunannya, Papa akan kembali bercerita mengenai kincir angin yang berada di atas menara tokonya. Ceritanya lagi-lagi berhasil membuatku berimajinasi memiliki rumah dengan kincir angin yang sama di atas atap. Dan rasanya sampai sekarang ini ketika melihat kincir angin di setiap menara outlet Holland Bakery mampu membuatku merenung dan menimbulkan percikan hangat di dada. Aku melihat senyum Papa saat itu juga.

Tahun-tahun kunjungan rutin tersebut perlahan berubah karena sebab satu dan lainnya. Kunjungan yang awalnya dua minggu sekali berubah menjadi setahun sekali, dan rasanya semakin jarang dilakukan ketika aku dewasa sampai baik Papa maupun Nenek pergi selamanya. Setelah tahun-tahun kepergian mereka, dan setahun belakangan ini tinggal sebagai urban, aku kembali 'mengunjungi' kenangan bersama mereka yang tertinggal di sepanjang jalan yang kulalui di setiap Jumat malam sepulang kerja.

Banyak yang berubah di sepanjang Jalan Gajah Mada, meski tidak dengan letak Holland Bakery dengan kincir angin di atasnya, juga deretan tenda makanan kaki lima di depan sepanjang ruko-rukonya. Hanya sedikit ramai dan bertambahnya bangunan baru atau sehabis direnovasi. Plaza Gajah Mada terlihat sepi pengunjung walau di dalamnya sudah ada kedai donat ternama. Memasuki Jalan Pintu Besar Selatan sampai Kota, yang kusaksikan adalah toko-toko tempo dulu yang menua dan hampir bangkrut. Banyaknya adalah yang sudah tutup dan ditinggalkan. Sebelumnya, kawasan Glodok dan Hayam Wuruk tampak lebih rapi dengan penataan dan tata tertib kota yang diberlakukan beberapa waktu belakangan. 

Aku semakin sering menyaksikan air mancur Bundaran HI ketika dinyalakan, dan megahnya Monas yang tidak jauh dari sana. Aku tidak lagi menyebut Museum Gajah, melainkan Museum Nasional, yang tampak semakin keren. Aku akan menertawakan diriku sendiri ketika mengingat Patung Pancoran berkat termakan bualan Papa dahulu. Aku masih tersenyum diam-diam ketika memerhatikan kincir angin di menara outlet Holland Bakery berputar pelan. Dan aku melihat aku yang bekejaran dengan sepupu-sepupuku di depan Gang Keselamatan Dalam, dalam balutan kaus dan celana pendek atau rok mini berwarna biru muda, merah jambu, kuning lembut, atau ungu terang dengan motif pita atau bunga-bunga, juga rambut yang dikuncir dua dan sesekali dikepang dengan poni menutupi kening. Aku melihat belimbing-belimbing Nenek matang dan kami berebut memetiknya, berbaring di lantai rumahnya yang sejuk dan selalu putih bersih, mencium aroma kopi, teh, dan susu yang bercampur dari arah dapur. Aku masih hapal mengingatnya dengan baik setiap benda dan suasana di dalamnya, bahkan hingga sekarang rumah tersebut bukan lagi milik Nenek dan pohon belimbing di depannya sudah ditebang kala beberapa waktu setelah Nenek meninggal aku kembali mengunjungi rumah Om dan melihat segalanya telah berubah dan bukan lagi menjadi bagian kami. 

Kuyakin, masing-masing diri kita memiliki caranya sendiri untuk mengenang sesuatu. Mulai dari melakukan hal yang aneh, unik, sampai terkesan konyol. Mungkin ini juga yang sedang kulakukan. Mereka sudah pergi, tapi setidaknya mereka meninggalkan kenangan manis bersamaku di sini. Kulakukan ini hanya agar kenangan itu tetap dekat dengan diriku, agar mereka tak benar-benar pergi. Meletakkan mereka tepat di hati. Jarak yang kutempuh tidaklah dekat, waktu yang kuhabiskan bukanlah sebentar, tapi aku hanya ingin kenangan bersama mereka tetap utuh. Dan aku tidak akan membiarkannya memudar. 

Ohana means family, even after they're all gone, right?

Komentar

  1. wah pastinya rasanya acmpur aduk ya, sedih, suka dan semua rasa ada

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi semoga cuma suka dan senang aja yang dirasa, sedihnya jangan terlalu sering hehehe.

      Terima kasih, Kak, sudah luangkan waktu buat mampir dan baca :)

      Hapus
  2. Renyah gurih, baca sampai habis. Kalo bisa bungkus, dibungkus aja. Jangan lupa dipisahin yang pake telor sama yang pedes pake jumlah karet yang berbeda. Ah ini cuman kiasan doang ti, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyuuu, Ariiiifff Munandaaaarrr *pake cium nggak, nih? wkwkwk

      Jadi kemarin-kemarin nggak baca sampai habis??!!!

      Hapus
  3. tapi tidak semua kenangan itu manis, ada yang menyakitkan juga.. seperti yang saya alami :-(

    www.qurban-aqiqah.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sering-sering ingat yang manis dan yang baik-baik aja, biar nggak menyakitkan. Yang pahitnya buang aja jauh-jauh hehehe :p

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj