Langsung ke konten utama

Mencari Secangkir Minang Solok


Image credit: pexels.com

Ia datang tepat di derai terakhir hujan jatuh sore tadi. Terlambat dua jam dari waktu yang dijanjikan, padahal hari ini adalah hari pertamanya bekerja di Kopi Dadakan sebagai barista. Pria yang bertindak sebagai bos sekaligus pemilik Kopi Dadakan geram bukan main. Wanita selalu merepotkan, padahal kedai sedang ramai-ramainya tadi dan ini adalah hari pertamanya bekerja, gerutu Kavin dalam hatinya. Sebagai balasan atas keterlambatannya, Kavin tidak menghiraukan keberadaan perempuan itu, sesedikit mungkin mengajaknya bicara, berpikir dengan begitu ia akan merasa bersalah. Tapi nyatanya, Annis—nama perempuan itu—bersikap biasa-biasa saja, seolah dirinya tidak melakukan suatu hal yang telah membuat orang lain jengkel setengah mati.

Dengan ceria ia melayani pelanggan pertamanya. Bekerja dengan mesin dan alat-alat pembuat kopi dengan lihai. Cukup cekatan dan tidak tampak canggung di hari pertamanya bekerja dan belum sampai empat jam ia berada di Kopi Dadakan. Bagiku Kavin sedikit keterlaluan. Kaus dan jeans yang dikenakan Annis belum sepenuhnya kering, begitu juga rambutnya setelah kehujanan. Tapi sang bos tidak memberikan sedikit pun perhatian kepada rekan barunya dengan memberikan handuk cadangan yang biasanya dia simpan dalam loker. Siapa pula yang tega membiarkan perempuan manis seperti Annis ini kedinginan? Kau harus melihatnya, ia benar-benar manis!

“Belum puas memerhatikanku seperti itu?” Tiba-tiba Annis bersuara, mengagetkan Kavin yang tertangkap basah sedang memerhatikannya lekat-lekat. Yang ditanya terkesiap dan jadi salah tingkah, berpura-pura sedang melap jug. “Kamu pasti sebal karena aku terlambat, bukan? Aku sudah minta maaf dan aku bekerja cukup baik, walau baru melayani tiga pelanggan.” Annis berkata datar, pandangannya beralih dari Kavin ke toples-toples biji kopi yang berjajar di depannya, membetulkan letaknya yang berantakan.

“Baru pertama kali aku menemui orang yang sudah tahu bersalah tapi nggak merasa telah melakukan hal yang salah.” Kavin mulai menyerang lawannya dengan kata-kata pedasnya.

“Selamat, kamu menjadi orang keseratus yang mengatakan hal itu. Kuanggap itu sebagai pujian, jadi terima kasih. Mau kubuatkan cappuccino panas sebagai perayaan kecil-kecilan buatmu sebagai orang keseratus?”

Aih, ternyata jawaban Annis pun tidak kalah pedasnya dengan sang bos. Aku bertaruh mereka akan menjadi pasangan rekan kerja terhebat yang pernah kutemui! Kavin menemukan lawan yang seimbang kali ini.
***

Aku tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Si Aeropress tadi. Kavin dan Annis tidak akan hanya menjadi rekan kerja terhebat untuk Kopi Dadakan, tapi juga pasangan teromantis yang pernah ada di kedai ini. Aku punya firasat Annis dapat meluluhkan hati bosku yang keras itu. Kehadiran gadis itu menambah suasana ceria untuk Kopi Dadakan dengan sapaan ramah nan hangat menyambut pelanggan, mengajak mengobrol mereka yang memilih menghabiskan kopi di tempat, tentang cuaca hari itu sampai film yang sedang diputar di bioskop-bioskop, sesekali diselingi tawa renyah jika mendengar suatu kelakar dari lawan bicaranya.

Suasana yang sama sekali berbeda dari Kopi Dadakan sebelumnya. Kavin, selama yang kutahu, cukup ramah dan dekat dengan para pelanggannya. Tapi, ia bukan sosok pria luwes yang mampu membangun obrolan tanpa henti dengan pelanggannya seperti yang dilakukan Annis. Kopi Dadakan tidak lagi dipenuhi aroma yang selalu sama—kopi, cokelat, susu. Wangi daun mint, perasan lemon, dan bubuk kayu manis mulai memenuhi udara di dalam truk Kopi Dadakan.

”Jangan merusak racikan menu yang sudah kubuat susah payah.” Larang Kavin ketika Annis sedang asyik menakar kopi dengan kayu manis.

“Aku membuatnya bukan untuk menu di kedaimu, apalagi untuk kamu cicipi. Kalau kamu keberatan bubuk kopimu kupakai, akan kubayar.” Annis tampak tenang tanpa sedetik pun menatap lawan bicaranya. Belum sempat Kavin membalas, Annis sudah membungkamnya dengan sebuah tawaran. “Tapi kayaknya kamu perlu coba deh, kopi racikanku ini. Mau?” Annis menyodorkan secangkir kopi kayu manis yang dibuatnya. Kurasa Annis tengah membuka pintu pertemanan dengan Kavin. “Tenang, nggak usah takut, aku nggak berniat meracuni kamu, kok.” Kembali Kavin kalah telak karena Annis mampu menyuarakan isi kepalanya yang diliputi kecurigaan.

Sensasi rempah memenuhi mulut Kavin. Aroma yang menyeruak dari uapnya menenangkan. Kavin harus mengakui kopi buatan Annis itu benar-benar nikmat. Nikmat yang sederhana dan apa adanya. Berbeda dengan racikan kopinya sendiri yang terkesan rumit dengan gabungan dan takaran yang harus selalu sempurna.

“Terima kasih sudah meracuniku dengan kopi kayu manis ini.” Aku Kavin. Suaranya pelan dan terdengar canggung, terlalu gengsi mengakui bakat Annis. Pertahanannya untuk menjaga jarak dengan Annis runtuh sudah. Pandangannya bahwa gadis itu akan merecoki rencana bisnisnya telah keliru. Kebalikannya, Annis terang-terangan menunjukkan ekspresi senang di wajahnya. Mendapat tatapan seperti itu dari Annis, Kavin semakin kikuk. Annis meraih lembaran daun mint dan lemon, mengacungkannya di kedua tangannya.

“Mau coba kopi dengan daun mint dan perasaan lemon?”

Kavin mengangguk tanda mengiyakan. Malam itu sepulangnya Annis, Kavin melalukan sebuah langkah baru untuk Kopi Dadakan: menambahkan tiga menu baru di daftar menunya di papan tulis kapur—kopi mint, kopi kayu manis, dan kopi lemon. Terkadang kesempurnaan dari sebuah rasa bermula dari cara-cara yang sederhana, seperti nikmatnya kopi hanya karena tambahan sebatang kayu manis.
***

“Jadi, kenapa suka kopi dan pengin jadi barista?”

Ini adalah kali pertama Kavin memulai obrolan, yang bersifat personal di luar urusan kerja dan Kopi Dadakan, dengan Annis. Mereka duduk santai di kursi pelanggan yang menghadap ke espresso maker ketika tidak ada lagi tanda-tanda akan ada pelanggan yang datang hampir pukul sepuluh malam begini.

“Karena kakek dan ayahku peminum kopi sejati. Selama 23 tahun hidungku menghirup aroma yang sama di setiap pagi di rumah. Terbangun dengan aroma yang sama dan mendengar obrolan mereka soal kopi. Kopi membuatku selalu dekat dengan keduanya meski kami tinggal berjauhan. Dari mereka juga aku belajar satu hal, perjalanan hidup itu ibarat kopi, hitam itu tidak selalu berarti kotor, dan yang terasa pahit belum tentu selalu menyedihkan. Kalau barista, karena aku pengin menghidangkan kopi yang nikmat buat mereka setiap hari.” Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah kudengar keluar dari mulut Annis setelah hampir sebulan berada di Kopi Dadakan. Dan sepertinya ia dan Kavin pun menyadari hal yang sama denganku. “Kalau kamu, Vin?”

“Semua orang suka kopi, kan? Aku termasuk salah satu dari semua orang itu. Bedanya, aku menjadikan juga kopi sebagai peluang bisnis.”

“Setelah lelah ditolak berkali-kali di perusahaan impian?” Rayu Annis. Aryo, sepupunya yang mengenalkannya ke Kavin dan memberi tahu pria itu sedang membutuhkan barista, pun pernah bercerita mengenai obsesi Kavin masuk ke salah satu perusahaan finansial multinasional di Jakarta yang berujung gagal.

“Aryo?” tanya Kavin, memastikan Annis pun tahu mengenai hal itu dari sahabatnya. Annis mengangguk mengiyakan. Setelah itu keduanya terdiam. Aku, Jug, dan Aeropress memerhatikan keduanya dari dalam truk. Aku berkata kepada teman-temanku itu, Annis dan Kavin itu seperti penjelmaan kopi arabika dan robusta dalam wujud manusia. Annis mewakili sifat manis dan lembut, tapi juga memiliki karakter kuat dan pemikiran yang tajam, pembawaannya riang dan segar. Aroma yang menguar dari tubuhnya seperti blueberry. Kebalikannya, Kavin terkesan pahit dan cuek baik dalam tindakannya maupun ucapannya, tapi sebenarnya dia pun memiliki sisi manis dalam dirinya.

“Buatku, kopi bukan hanya sekadar minuman teman melepas penat atau sepi. Dia ibarat sesosok manusia, memiliki ciri khas dan sifatnya masing-masing, membawa rasanya sendiri-sendiri. Kopi itu universal sekaligus unik dengan ceritanya yang berbeda-beda. Kopi mengajarkanku bahwa impian itu butuh proses untuk sampai pada titik aku dapat merasa manisnya pencapaian. Sama seperti kopi, butuh proses panjang untuk bisa kita nikmati, kan? Kopi Dadakan juga dibangun dari proses panjang hingga mencapai titik sekarang, kan?” Annis kembali membuka pembicaraan setelah diam yang sudah terlalu lama.

“Makanya itu kamu sering sekali mengajak mereka bicara?” tanya Kavin. Ia memang sering mendapati Annis berbicara pada toples-toples berisi biji kopi, seolah-olah mereka hidup dan dapat bicara.

“Aku terima kalau kau sebut aku orang nggak waras.” Lagi-lagi Annis seakan bisa membaca pikiran Kavin.

“Nggak waras terlalu kasar. Lebih tepatnya aneh.” Kavin mengklarifikasi. Diam-diam di dalam hatinya, Kavin menaruh kekaguman kepada gadis di sampingnya. Pengetahuannya dan cara pandangnya tentang kopi sungguh memukau.
***

Perdebatan itu terjadi pagi tadi, ketika Kopi Dadakan baru saja dibuka. Kejadiannya bermula dari Annis yang tidak sengaja merusak mesin grinder manual yang langsung diikuti omelan Kavin tanpa henti selama sejam lebih. Aku, Cangkir, dan Aeropress saling tatap ketika pertama kalinya kami melihat wajah Annis murung, panik, sekaligus merasa bersalah. Matanya bagai digelayuti awan mendung.

“Maaf, aku melamun tadi.” Akunya pada Kavin yang menatapnya geram.

Annis menatap grinder manual yang baru saja dirusaknya dengan sedih. Tapi aku yakin, rasa sedihnya bukan karena bersalah kepada Kavin, melainkan lebih kepada grinder manualnya.

Bisa-bisanya ceroboh begini sih, Nis. Kasihan grindernya jadi rusak, kan! Gerutunya pada dirinya sendiri.

Puas mengomeli dan mengoceh ini itu, ide jahil Kavin muncul dalam benaknya saat melihat Annis masih saja menekuk wajahnya karena perasaan bersalah. Bibirnya menyeringai licik. Kapan lagi mengerjai perempuan berkepala batu ini? Batin Kavin.

“Kamu mau menggantinya dengan potong gajimu atau kamu membelikan grinder yang baru?” Tanya Kavin memberi pilihan kepada Annis.

“Kubelikan saja yang baru, biar kamu nggak usah repot-repot pergi membelinya dan meninggalkan kedai kesayanganmu ini.” Suara Annis jelas-jelas terdengar lesu dan tak berdaya. Kesempatan bagus! Ujar Kavin penuh kemenangan.

“Baik. Tapi ada syaratnya.” Ia menantang Annis, tahu betul kalau perempuan itu paling lemah jika berurusan dengan tantangan. Annis anti menolak tantangan.

“Apa pun, aku siap. Biar kamu puas sekalian!” annis mulai jengkel dengan tingkah Kavin yang sedang mempermainkannya.

“Aku mau kamu menggantinya dengan Porlex Mini Hand Grinder.”

Annis tersentak mendengar permintaan Kavin dan tatapannya mengisyaratkan kalimat, “Kau gila apa??! Jangan main-main, ya!”

“Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa melakukannya—” belum sempat Kavin menyelesaikan kalimatnya, Annis sudah menyela.

“Oke, oke! Beri aku waktu seminggu buat menggantinya.”

Lihat bagaimana gadis ini sangat berkepala batu dan tidak mau terlihat kalah dalam sebuah tantangan. Sebagai bentuk persetujuan, Kavin mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Annis.

Deal?”

Annis menyambut jabatan tangan Kavin. Challenge accepted!
***

Annis menepati janjinya. Seminggu kemudian ia datang dengan membawa Porlex Mini Hand Grinder, juga sebuah brosur di tangannya. Ia menyerahkan keduanya sekaligus kepada Kavin dengan kasar. Kavin yang sedang duduk santai sambil membaca sebuah artikel di tabletnya terlonjak menangkap kotak grinder manual barunya. Senyumnya merekah, penuh kemenangan.

“Wohoo! Thanks, Nis! Dengan ini kunyatakan kamu bebas dari status tersangka.”

“Aaahhkk, tabungankuuuu!” Annis terkulai lemas di kursi.

“Kerja yang rajin biar tabunganmu kembali dengan cepat.” Kavin menepuk-nepuk bahu Annis, meledeknya agar tabah, lalu berlalu ke dalam truk. Ia membolak-balik brosur yang tadi diserahkan Annis, di halaman pertamanya tertulis “Jakarta Coffee Festival 2016”.

“Nis, menurutmu apa kita perlu ke sini?” tanyanya meminta pendapat.

“Ke sini ke mana maksudmu? Bicara yang jelas.”

“Jakarta Coffee Festival 2016.”

Kepalanya seketika terangkat tegak, lalu menatap tepat ke kedua mata Kavin. “Harus!”

“Oke, kita ke sana.”

“Berdua saja?” Tanya Annis.

“Kamu mau mengajak siapa lagi?”

“Kamu mau meninggalkan Kopi Dadakan begitu saja tanpa diajak juga? Kita bisa tetap membuka Kopi Dadakan di sana, Vin. Baca yang benar, di brosur tertera bagi yang memiliki kedai kopi keliling boleh membawa truknya dan berjualan di sana.”

Mungkin ini adalah kesempatan emas buat Kopi Dadakan mendapat perhatian dari penikmat kopi dan juga pengusaha. Siapa tahu ada yang mau bekerja sama dengan Kopi Dadakan. Rencana-rencana bisnisnya untuk Kopi Dadakan hadir silih berganti dalam kepala Kavin. Ia sampai tidak menyadari Annis masih mengajaknya bicara.

“Kavin!”

“Oh, maaf. Tadi kamu bilang apa?”

“Kamu bisa sekalian mencari kopi Minang Solok di festival itu. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering browsing soal kopi itu.”

Kavin melirik ke arah tabletnya sekilas sebelum membalas ucapan Annis. “Iya, aku belum pernah nyoba kopi Minang Solok. Kamu?”

“Sama. Semoga ada kopi idamanmu itu, biar nggak mati penasaran.” Ledek Annis seraya pergi ke dalam truk dan memakai apron-nya.

Perhatian juga perempuan satu ini. Aih, Ibu, apa jatungku baru saja berdebar?
***

Annis dan Kavin sepakat untuk mengelilingi Jakarta Coffee Festival secara bergantian. Kesempatan pertama jatuh ke tangan Kavin. Dalam hitungan detik, Kavin sudah lenyap di antara kerumunan pengunjung festival dan dengan senang hati Annis mengambil alih Kopi Dadakan, melayani pengunjung yang datang, atau duduk santai sambil menonton lalu lalang orang-orang yang memadati kawasan Kota Tua yang disulap menjadi deretan tenda-tenda putih berukuran besar. Ia pun sempat mengabadikan beberapa momen yang tertangkap oleh pandangannya dalam kamera polaroid miliknya.

Satu jam kemudian Kavin kembali ke Kopi Dadakan. Ia mengulurkan secup kopi kepada Annis. Ia menangkap aroma seperti buah-buahan tropis dan floral ketika menghirup uapnya, dan terasa lebih ringan dan manis dibandingkan dengan kopi-kopi asal Sumatra lainnya.

“Gimana, Nis?” tanya Kavin tidak sabar.

“Kayak bukan tipikal kamu banget, ya? Kiraku kamu akan lebih memilih jenis kopi yang aroma dan rasanya kuat. Rasa kopinya agak mirip dengan tipikal kopi-kopi Afrika, ya?”

Keduanya menyesap kopi Minang Solok dalam cupnya masing-masing. Saat itu pula, untuk pertama kalinya Annis menangkap emosi yang berbeda dalam sorot mata Kavin. Bukan sesuatu yang ambisius seperti yang sering ia perlihatkan ketika mereka membahas pekerjaan dan perkembangan bisnis Kopi Dadakan. Bukan sesuatu yang menunjukkan bahwa pria di sebelahnya ini adalah orang yang terobsesi meramu menu kopi baru dengan rasa sempurna untuk kedainya. Kali ini Kavin menjelma bocah laki-laki yang kegirangan mendapat mainan mobil-mobilan impiannya di hari ulang tahunnya.

“Sepertinya aku akan menambahkan Minang Solok di menu baru Kopi Dadakan. Gimana menurutmu?” Tanya Kavin, meminta pendapat. Atau lebih tepatnya mungkin sebuah persetujuan?

“Dengan senang hati.”

Cangkir, Jug, dan diriku yang berada di dalam truk menyaksikan bagaimana pipi Annis merona dan mata Kavin berbinar. Keduanya diam-diam mulai saling mengagumi. Annis yang mengagumi jerih payah Kavin dalam merintis kedai kopinya. Kavin yang memandang Annis sebagai barista cekatan dengan segudang ide cemerlang untuk membantu mengembangkan bisnis tersebut.

“Eh, tunggu sebentar. Tapi gimana kita menyuplai biji kopinya?” Tanya Annis kemudian begitu menyadari dari mana mereka bisa menghidangkan jenis kopi yang baru dikenal dua sampai tiga tahun terakhir itu.

“Minggu depan kita pergi ke Solok, langsung ke perkebunan di lereng Gunung Talang sebagai habitat kopi ini. Kita datangi petaninya, lalu kita minta mereka yang memasok bijinya untuk kita.”

Annis tentu tidak salah dengar, Kavin baru saja mengucapkan kata “kita”.

“Iya, Nis, kita—aku sama kamu. Kalau aku kenapa-kenapa di Solok nanti, seenggaknya aku punya teman senasib sepenanggungan.” Kavin menyikut lengan Annis.

“Bos macam apa kamu menyeret anak buahnya dalam kesulitan?”

Kavin terbahak memandang wajah Annis yang penuh protes. Tawa yang semakin sering disuarakan Kavin semenjak ada Annis, dan ia sendiri menyadari itu. Hatinya kembali menghangat.
***

Perjalanan ke Solok demi mendapatkan biji kopi Minang Solok langsung dari kebunnya menjadi sebuah kesempatan menarik yang tak terduga bagi Annis. Ia mempelajari kopi langsung dari petani dan pakarnya selama di sana. Selain itu, ia pun banyak mengetahui hal-hal baru mengenai Kavin. Semangat dan kegigihannya mendapat nilai plus di mata Annis. Sepulangnya mereka dari Solok, Annis mengajukan beberapa ide baru untuk Kopi Dadakan, salah satunya adalah menambah menu kopi khas nusantara.

“Katamu kopi itu milik semua orang, bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa pandang status sosial, ekonomi, usia, perempuan atau lelaki, dan pekerjaannya, kan? Tapi, selama ini aku merasa Kopi Dadakan terlalu ditujukan hanya untuk mereka yang familiar dengan nama-nama seperti espresso, macchiato, cappuccino, moccacino, cafe latte, atau americano. Kalau kamu juga pengin merangkul mereka yang lebih familiar dengan kopi tubruk dan kopi susu, kenapa nggak sekalian saja kita tambahkan kopi sanger, kopi jos, kopi durian, atau kopi takar. Di Jakarta ini tempat berkumpulnya semua suku, mungkin bisa saja ada pelangganmu yang berasal dari Aceh dan dia rindu menyesap kopi sanger.”

Kavin mempertimbangkan ide Annis tersebut. Selagi Kavin memikirkan kemungkinan, peluang, dan juga risikonya, Annis kembali menambahkan idenya.

“Terus...kalau bisa Kopi Dadakan nggak hanya menyasar daerah-daerah yang ramai orang kantoran saja. Coba kita datangi pasar-pasar dan stasiun, menurutku kita punya peluang di sana. Alasannya, kembali lagi seperti barusan, kopi itu milik siapa saja, termasuk abang becak, bapak sopir metromini, dan mas-mas pedagang kaki lima. Lagi pula aku bosan berada di sekitaran Sudirman, Thamrin, Kuningan, atau Kemang.”

Annis menghentikan ocehannya dan menjadi risih sendiri ketika sadar sedang diperhatikan lekat-lekat oleh Kavin. Pria yang sedang menatapnya hanya tersenyum-senyum, menahan tawa.

“Aku sudah kebanyakan ngomong, ya? Hehehe.” Tanya Annis malu-malu.

“Iya. Ocehan terpanjangmu yang pernah kudengar selama kamu di Kopi Dadakan. Tapi terima kasih untuk ide dan saran-sarannya. Sekarang kita berteman?” Kavin mengacungkan jari kelingkingnya kepada Annis.

“Jadi selama ini kamu menganggap aku musuhmu, ya?” Tuntut Annis.

“Kamu tidak seperti perempuan yang mudah didekati, dan kamu berpotensi merecoki rencana bisnisku untuk Kopi Dadakan. Awalnya kupikir begitu.”

“Dan kamu juga bukan seperti pria yang bisa berkata ramah, berambisi, dan tidak suka diberi saran oleh rekannya. Pantas saja anak buahmu sebelum-sebelumnya selalu kabur, bosnya punya mulut berbisa dan keseringan makan cabe, sih.”

“Duh, segitunya, deh. Jadi, berteman nggak nih, kita?” Kavin menggoda Annis dengan menyikutnya. Rasa percaya kepada Kavin mulai terbangun dalam dirinya. Ia pun mengulurkan jari kelingkingnya dan menyambut pertemanan Kavin. Saat jari mereka bersentuhan, desiran itu sepintas hadir di hati keduanya. Kavin melirik jam di tangannya. Jarumnya sudah menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Hujan baru saja reda dan rembulan yang tadi tertutupi awan kelabu mulai menampakkan dirinya lagi. Aroma kopi masih berbaur dengan udara di sekitar truk Kopi Dadakan. Annis menghirup aroma tersebut dalam-dalam. Perasaan tenang yang timbul setelah menghirupnya selalu ia sukai. Kavin menyadari apa yang selama ini luput dari perhatiannya: lesung pipit di sisi kanan pipi Annis.


“Ayo, bersiap pulang. Sekalian biar kuantar.” Kavin menjulurkan tangannya, dan Annis menyambut uluran tangannya. Kopi membawa mereka pada sebuah kesimpulan lain: pada akhirnya semuanya adalah soal rasa, bukan semata cara. Kavin dan Annis hanya perlu saling merasa kali ini. 
***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj