Image credit: pexels.com
Ia datang tepat di derai terakhir hujan jatuh sore tadi. Terlambat dua jam dari waktu yang dijanjikan, padahal hari ini adalah hari pertamanya bekerja di Kopi Dadakan sebagai barista. Pria yang bertindak sebagai bos sekaligus pemilik Kopi Dadakan geram bukan main. Wanita selalu merepotkan, padahal kedai sedang ramai-ramainya tadi dan ini adalah hari pertamanya bekerja, gerutu Kavin dalam hatinya. Sebagai balasan atas keterlambatannya, Kavin tidak menghiraukan keberadaan perempuan itu, sesedikit mungkin mengajaknya bicara, berpikir dengan begitu ia akan merasa bersalah. Tapi nyatanya, Annis—nama perempuan itu—bersikap biasa-biasa saja, seolah dirinya tidak melakukan suatu hal yang telah membuat orang lain jengkel setengah mati.
Dengan ceria ia melayani
pelanggan pertamanya. Bekerja dengan mesin dan alat-alat pembuat kopi dengan
lihai. Cukup cekatan dan tidak tampak canggung di hari pertamanya bekerja dan
belum sampai empat jam ia berada di Kopi Dadakan. Bagiku Kavin sedikit
keterlaluan. Kaus dan jeans yang dikenakan Annis belum sepenuhnya kering,
begitu juga rambutnya setelah kehujanan. Tapi sang bos tidak memberikan sedikit
pun perhatian kepada rekan barunya dengan memberikan handuk cadangan yang biasanya
dia simpan dalam loker. Siapa pula yang tega membiarkan perempuan manis seperti
Annis ini kedinginan? Kau harus melihatnya, ia benar-benar manis!
“Belum puas memerhatikanku
seperti itu?” Tiba-tiba Annis bersuara, mengagetkan Kavin yang tertangkap basah
sedang memerhatikannya lekat-lekat. Yang ditanya terkesiap dan jadi salah
tingkah, berpura-pura sedang melap jug.
“Kamu pasti sebal karena aku terlambat, bukan? Aku sudah minta maaf dan aku
bekerja cukup baik, walau baru melayani tiga pelanggan.” Annis berkata datar,
pandangannya beralih dari Kavin ke toples-toples biji kopi yang berjajar di
depannya, membetulkan letaknya yang berantakan.
“Baru pertama kali aku menemui
orang yang sudah tahu bersalah tapi nggak merasa telah melakukan hal yang
salah.” Kavin mulai menyerang lawannya dengan kata-kata pedasnya.
“Selamat, kamu menjadi orang keseratus
yang mengatakan hal itu. Kuanggap itu sebagai pujian, jadi terima kasih. Mau
kubuatkan cappuccino panas sebagai perayaan kecil-kecilan buatmu sebagai orang
keseratus?”
Aih, ternyata jawaban Annis pun
tidak kalah pedasnya dengan sang bos. Aku bertaruh mereka akan menjadi pasangan
rekan kerja terhebat yang pernah kutemui! Kavin menemukan lawan yang seimbang
kali ini.
***
Aku tidak sepenuhnya setuju dengan
pendapat Si Aeropress tadi. Kavin dan Annis tidak akan hanya menjadi rekan
kerja terhebat untuk Kopi Dadakan, tapi juga pasangan teromantis yang pernah
ada di kedai ini. Aku punya firasat Annis dapat meluluhkan hati bosku yang
keras itu. Kehadiran gadis itu menambah suasana ceria untuk Kopi Dadakan dengan
sapaan ramah nan hangat menyambut pelanggan, mengajak mengobrol mereka yang memilih
menghabiskan kopi di tempat, tentang cuaca hari itu sampai film yang sedang
diputar di bioskop-bioskop, sesekali diselingi tawa renyah jika mendengar suatu
kelakar dari lawan bicaranya.
Suasana yang sama sekali berbeda
dari Kopi Dadakan sebelumnya. Kavin, selama yang kutahu, cukup ramah dan dekat
dengan para pelanggannya. Tapi, ia bukan sosok pria luwes yang mampu membangun
obrolan tanpa henti dengan pelanggannya seperti yang dilakukan Annis. Kopi
Dadakan tidak lagi dipenuhi aroma yang selalu sama—kopi, cokelat, susu. Wangi
daun mint, perasan lemon, dan bubuk kayu manis mulai memenuhi udara di dalam
truk Kopi Dadakan.
”Jangan merusak racikan menu yang
sudah kubuat susah payah.” Larang Kavin ketika Annis sedang asyik menakar kopi
dengan kayu manis.
“Aku membuatnya bukan untuk menu
di kedaimu, apalagi untuk kamu cicipi. Kalau kamu keberatan bubuk kopimu
kupakai, akan kubayar.” Annis tampak tenang tanpa sedetik pun menatap lawan
bicaranya. Belum sempat Kavin membalas, Annis sudah membungkamnya dengan sebuah
tawaran. “Tapi kayaknya kamu perlu coba deh, kopi racikanku ini. Mau?” Annis
menyodorkan secangkir kopi kayu manis yang dibuatnya. Kurasa Annis tengah
membuka pintu pertemanan dengan Kavin. “Tenang, nggak usah takut, aku nggak
berniat meracuni kamu, kok.” Kembali Kavin kalah telak karena Annis mampu
menyuarakan isi kepalanya yang diliputi kecurigaan.
Sensasi rempah memenuhi mulut
Kavin. Aroma yang menyeruak dari uapnya menenangkan. Kavin harus mengakui kopi
buatan Annis itu benar-benar nikmat. Nikmat yang sederhana dan apa adanya.
Berbeda dengan racikan kopinya sendiri yang terkesan rumit dengan gabungan dan
takaran yang harus selalu sempurna.
“Terima kasih sudah meracuniku
dengan kopi kayu manis ini.” Aku Kavin. Suaranya pelan dan terdengar canggung,
terlalu gengsi mengakui bakat Annis. Pertahanannya untuk menjaga jarak dengan
Annis runtuh sudah. Pandangannya bahwa gadis itu akan merecoki rencana
bisnisnya telah keliru. Kebalikannya, Annis terang-terangan menunjukkan
ekspresi senang di wajahnya. Mendapat tatapan seperti itu dari Annis, Kavin
semakin kikuk. Annis meraih lembaran daun mint dan lemon, mengacungkannya di kedua
tangannya.
“Mau coba kopi dengan daun mint
dan perasaan lemon?”
Kavin mengangguk tanda
mengiyakan. Malam itu sepulangnya Annis, Kavin melalukan sebuah langkah baru
untuk Kopi Dadakan: menambahkan tiga menu baru di daftar menunya di papan tulis
kapur—kopi mint, kopi kayu manis, dan kopi lemon. Terkadang kesempurnaan dari
sebuah rasa bermula dari cara-cara yang sederhana, seperti nikmatnya kopi hanya
karena tambahan sebatang kayu manis.
***
“Jadi, kenapa suka kopi dan
pengin jadi barista?”
Ini adalah kali pertama Kavin
memulai obrolan, yang bersifat personal di luar urusan kerja dan Kopi Dadakan,
dengan Annis. Mereka duduk santai di kursi pelanggan yang menghadap ke espresso maker ketika tidak ada lagi
tanda-tanda akan ada pelanggan yang datang hampir pukul sepuluh malam begini.
“Karena kakek dan ayahku peminum
kopi sejati. Selama 23 tahun hidungku menghirup aroma yang sama di setiap pagi
di rumah. Terbangun dengan aroma yang sama dan mendengar obrolan mereka soal
kopi. Kopi membuatku selalu dekat dengan keduanya meski kami tinggal berjauhan.
Dari mereka juga aku belajar satu hal, perjalanan hidup itu ibarat kopi, hitam
itu tidak selalu berarti kotor, dan yang terasa pahit belum tentu selalu
menyedihkan. Kalau barista, karena aku pengin menghidangkan kopi yang nikmat
buat mereka setiap hari.” Ini adalah kalimat terpanjang yang pernah kudengar
keluar dari mulut Annis setelah hampir sebulan berada di Kopi Dadakan. Dan
sepertinya ia dan Kavin pun menyadari hal yang sama denganku. “Kalau kamu,
Vin?”
“Semua orang suka kopi, kan? Aku
termasuk salah satu dari semua orang itu. Bedanya, aku menjadikan juga kopi
sebagai peluang bisnis.”
“Setelah lelah ditolak berkali-kali
di perusahaan impian?” Rayu Annis. Aryo, sepupunya yang mengenalkannya ke Kavin
dan memberi tahu pria itu sedang membutuhkan barista, pun pernah bercerita
mengenai obsesi Kavin masuk ke salah satu perusahaan finansial multinasional di
Jakarta yang berujung gagal.
“Aryo?” tanya Kavin, memastikan
Annis pun tahu mengenai hal itu dari sahabatnya. Annis mengangguk mengiyakan.
Setelah itu keduanya terdiam. Aku, Jug, dan Aeropress memerhatikan keduanya
dari dalam truk. Aku berkata kepada teman-temanku itu, Annis dan Kavin itu
seperti penjelmaan kopi arabika dan robusta dalam wujud manusia. Annis mewakili
sifat manis dan lembut, tapi juga memiliki karakter kuat dan pemikiran yang
tajam, pembawaannya riang dan segar. Aroma yang menguar dari tubuhnya seperti blueberry. Kebalikannya, Kavin terkesan
pahit dan cuek baik dalam tindakannya maupun ucapannya, tapi sebenarnya dia pun
memiliki sisi manis dalam dirinya.
“Buatku, kopi bukan hanya sekadar
minuman teman melepas penat atau sepi. Dia ibarat sesosok manusia, memiliki
ciri khas dan sifatnya masing-masing, membawa rasanya sendiri-sendiri. Kopi itu
universal sekaligus unik dengan ceritanya yang berbeda-beda. Kopi mengajarkanku
bahwa impian itu butuh proses untuk sampai pada titik aku dapat merasa manisnya
pencapaian. Sama seperti kopi, butuh proses panjang untuk bisa kita nikmati,
kan? Kopi Dadakan juga dibangun dari proses panjang hingga mencapai titik
sekarang, kan?” Annis kembali membuka pembicaraan setelah diam yang sudah
terlalu lama.
“Makanya itu kamu sering sekali
mengajak mereka bicara?” tanya Kavin. Ia memang sering mendapati Annis
berbicara pada toples-toples berisi biji kopi, seolah-olah mereka hidup dan
dapat bicara.
“Aku terima kalau kau sebut aku
orang nggak waras.” Lagi-lagi Annis seakan bisa membaca pikiran Kavin.
“Nggak waras terlalu kasar. Lebih
tepatnya aneh.” Kavin mengklarifikasi. Diam-diam di dalam hatinya, Kavin
menaruh kekaguman kepada gadis di sampingnya. Pengetahuannya dan cara
pandangnya tentang kopi sungguh memukau.
***
Perdebatan itu terjadi pagi tadi,
ketika Kopi Dadakan baru saja dibuka. Kejadiannya bermula dari Annis yang tidak
sengaja merusak mesin grinder manual yang langsung diikuti omelan Kavin tanpa
henti selama sejam lebih. Aku, Cangkir, dan Aeropress saling tatap ketika
pertama kalinya kami melihat wajah Annis murung, panik, sekaligus merasa
bersalah. Matanya bagai digelayuti awan mendung.
“Maaf, aku melamun tadi.” Akunya
pada Kavin yang menatapnya geram.
Annis menatap grinder manual yang
baru saja dirusaknya dengan sedih. Tapi aku yakin, rasa sedihnya bukan karena
bersalah kepada Kavin, melainkan lebih kepada grinder manualnya.
Bisa-bisanya
ceroboh begini sih, Nis. Kasihan grindernya jadi rusak, kan! Gerutunya pada dirinya sendiri.
Puas mengomeli dan mengoceh ini
itu, ide jahil Kavin muncul dalam benaknya saat melihat Annis masih saja
menekuk wajahnya karena perasaan bersalah. Bibirnya menyeringai licik. Kapan lagi mengerjai perempuan berkepala
batu ini? Batin Kavin.
“Kamu mau menggantinya dengan potong
gajimu atau kamu membelikan grinder yang baru?” Tanya Kavin memberi pilihan
kepada Annis.
“Kubelikan saja yang baru, biar
kamu nggak usah repot-repot pergi membelinya dan meninggalkan kedai
kesayanganmu ini.” Suara Annis jelas-jelas terdengar lesu dan tak berdaya. Kesempatan bagus! Ujar Kavin penuh
kemenangan.
“Baik. Tapi ada syaratnya.” Ia
menantang Annis, tahu betul kalau perempuan itu paling lemah jika berurusan
dengan tantangan. Annis anti menolak tantangan.
“Apa pun, aku siap. Biar kamu
puas sekalian!” annis mulai jengkel dengan tingkah Kavin yang sedang
mempermainkannya.
“Aku mau kamu menggantinya dengan
Porlex Mini Hand Grinder.”
Annis tersentak mendengar
permintaan Kavin dan tatapannya mengisyaratkan kalimat, “Kau gila apa??! Jangan main-main, ya!”
“Nggak apa-apa kalau kamu nggak
bisa melakukannya—” belum sempat Kavin menyelesaikan kalimatnya, Annis sudah
menyela.
“Oke, oke! Beri aku waktu
seminggu buat menggantinya.”
Lihat bagaimana gadis ini sangat
berkepala batu dan tidak mau terlihat kalah dalam sebuah tantangan. Sebagai
bentuk persetujuan, Kavin mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Annis.
“Deal?”
Annis menyambut jabatan tangan
Kavin. Challenge accepted!
***
Annis menepati janjinya. Seminggu
kemudian ia datang dengan membawa Porlex Mini Hand Grinder, juga sebuah brosur
di tangannya. Ia menyerahkan keduanya sekaligus kepada Kavin dengan kasar.
Kavin yang sedang duduk santai sambil membaca sebuah artikel di tabletnya
terlonjak menangkap kotak grinder manual barunya. Senyumnya merekah, penuh
kemenangan.
“Wohoo! Thanks, Nis! Dengan ini kunyatakan kamu bebas dari status
tersangka.”
“Aaahhkk, tabungankuuuu!” Annis
terkulai lemas di kursi.
“Kerja yang rajin biar tabunganmu
kembali dengan cepat.” Kavin menepuk-nepuk bahu Annis, meledeknya agar tabah,
lalu berlalu ke dalam truk. Ia membolak-balik brosur yang tadi diserahkan
Annis, di halaman pertamanya tertulis “Jakarta Coffee Festival 2016”.
“Nis, menurutmu apa kita perlu ke
sini?” tanyanya meminta pendapat.
“Ke sini ke mana maksudmu? Bicara
yang jelas.”
“Jakarta Coffee Festival 2016.”
Kepalanya seketika terangkat tegak,
lalu menatap tepat ke kedua mata Kavin. “Harus!”
“Oke, kita ke sana.”
“Berdua saja?” Tanya Annis.
“Kamu mau mengajak siapa lagi?”
“Kamu mau meninggalkan Kopi Dadakan
begitu saja tanpa diajak juga? Kita bisa tetap membuka Kopi Dadakan di sana,
Vin. Baca yang benar, di brosur tertera bagi yang memiliki kedai kopi keliling
boleh membawa truknya dan berjualan di sana.”
Mungkin ini adalah kesempatan
emas buat Kopi Dadakan mendapat perhatian dari penikmat kopi dan juga
pengusaha. Siapa tahu ada yang mau bekerja sama dengan Kopi Dadakan. Rencana-rencana
bisnisnya untuk Kopi Dadakan hadir silih berganti dalam kepala Kavin. Ia sampai
tidak menyadari Annis masih mengajaknya bicara.
“Kavin!”
“Oh, maaf. Tadi kamu bilang apa?”
“Kamu bisa sekalian mencari kopi
Minang Solok di festival itu. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering browsing soal kopi itu.”
Kavin melirik ke arah tabletnya
sekilas sebelum membalas ucapan Annis. “Iya, aku belum pernah nyoba kopi Minang
Solok. Kamu?”
“Sama. Semoga ada kopi idamanmu
itu, biar nggak mati penasaran.” Ledek Annis seraya pergi ke dalam truk dan
memakai apron-nya.
Perhatian
juga perempuan satu ini. Aih, Ibu, apa jatungku baru saja berdebar?
***
Annis dan Kavin sepakat untuk
mengelilingi Jakarta Coffee Festival secara bergantian. Kesempatan pertama
jatuh ke tangan Kavin. Dalam hitungan detik, Kavin sudah lenyap di antara
kerumunan pengunjung festival dan dengan senang hati Annis mengambil alih Kopi
Dadakan, melayani pengunjung yang datang, atau duduk santai sambil menonton
lalu lalang orang-orang yang memadati kawasan Kota Tua yang disulap menjadi
deretan tenda-tenda putih berukuran besar. Ia pun sempat mengabadikan beberapa
momen yang tertangkap oleh pandangannya dalam kamera polaroid miliknya.
Satu jam kemudian Kavin kembali
ke Kopi Dadakan. Ia mengulurkan secup kopi kepada Annis. Ia menangkap aroma
seperti buah-buahan tropis dan floral ketika menghirup uapnya, dan terasa lebih
ringan dan manis dibandingkan dengan kopi-kopi asal Sumatra lainnya.
“Gimana, Nis?” tanya Kavin tidak
sabar.
“Kayak bukan tipikal kamu banget,
ya? Kiraku kamu akan lebih memilih jenis kopi yang aroma dan rasanya kuat. Rasa
kopinya agak mirip dengan tipikal kopi-kopi Afrika, ya?”
Keduanya menyesap kopi Minang
Solok dalam cupnya masing-masing. Saat itu pula, untuk pertama kalinya Annis
menangkap emosi yang berbeda dalam sorot mata Kavin. Bukan sesuatu yang
ambisius seperti yang sering ia perlihatkan ketika mereka membahas pekerjaan
dan perkembangan bisnis Kopi Dadakan. Bukan sesuatu yang menunjukkan bahwa pria
di sebelahnya ini adalah orang yang terobsesi meramu menu kopi baru dengan rasa
sempurna untuk kedainya. Kali ini Kavin menjelma bocah laki-laki yang
kegirangan mendapat mainan mobil-mobilan impiannya di hari ulang tahunnya.
“Sepertinya aku akan menambahkan
Minang Solok di menu baru Kopi Dadakan. Gimana menurutmu?” Tanya Kavin, meminta
pendapat. Atau lebih tepatnya mungkin sebuah persetujuan?
“Dengan senang hati.”
Cangkir, Jug, dan diriku yang
berada di dalam truk menyaksikan bagaimana pipi Annis merona dan mata Kavin
berbinar. Keduanya diam-diam mulai saling mengagumi. Annis yang mengagumi jerih
payah Kavin dalam merintis kedai kopinya. Kavin yang memandang Annis sebagai
barista cekatan dengan segudang ide cemerlang untuk membantu mengembangkan
bisnis tersebut.
“Eh, tunggu sebentar. Tapi gimana
kita menyuplai biji kopinya?” Tanya Annis kemudian begitu menyadari dari mana
mereka bisa menghidangkan jenis kopi yang baru dikenal dua sampai tiga tahun
terakhir itu.
“Minggu depan kita pergi ke
Solok, langsung ke perkebunan di lereng Gunung Talang sebagai habitat kopi ini.
Kita datangi petaninya, lalu kita minta mereka yang memasok bijinya untuk kita.”
Annis tentu tidak salah dengar,
Kavin baru saja mengucapkan kata “kita”.
“Iya, Nis, kita—aku sama kamu.
Kalau aku kenapa-kenapa di Solok nanti, seenggaknya aku punya teman senasib
sepenanggungan.” Kavin menyikut lengan Annis.
“Bos macam apa kamu menyeret anak
buahnya dalam kesulitan?”
Kavin terbahak memandang wajah
Annis yang penuh protes. Tawa yang semakin sering disuarakan Kavin semenjak ada
Annis, dan ia sendiri menyadari itu. Hatinya kembali menghangat.
***
Perjalanan ke Solok demi
mendapatkan biji kopi Minang Solok langsung dari kebunnya menjadi sebuah
kesempatan menarik yang tak terduga bagi Annis. Ia mempelajari kopi langsung
dari petani dan pakarnya selama di sana. Selain itu, ia pun banyak mengetahui
hal-hal baru mengenai Kavin. Semangat dan kegigihannya mendapat nilai plus di
mata Annis. Sepulangnya mereka dari Solok, Annis mengajukan beberapa ide baru
untuk Kopi Dadakan, salah satunya adalah menambah menu kopi khas nusantara.
“Katamu kopi itu milik semua
orang, bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa pandang status sosial, ekonomi,
usia, perempuan atau lelaki, dan pekerjaannya, kan? Tapi, selama ini aku merasa
Kopi Dadakan terlalu ditujukan hanya untuk mereka yang familiar dengan
nama-nama seperti espresso, macchiato, cappuccino, moccacino, cafe latte, atau americano. Kalau kamu juga pengin merangkul mereka yang lebih
familiar dengan kopi tubruk dan kopi susu, kenapa nggak sekalian saja kita
tambahkan kopi sanger, kopi jos, kopi durian, atau kopi takar. Di Jakarta ini
tempat berkumpulnya semua suku, mungkin bisa saja ada pelangganmu yang berasal
dari Aceh dan dia rindu menyesap kopi sanger.”
Kavin mempertimbangkan ide Annis
tersebut. Selagi Kavin memikirkan kemungkinan, peluang, dan juga risikonya,
Annis kembali menambahkan idenya.
“Terus...kalau bisa Kopi Dadakan
nggak hanya menyasar daerah-daerah yang ramai orang kantoran saja. Coba kita
datangi pasar-pasar dan stasiun, menurutku kita punya peluang di sana.
Alasannya, kembali lagi seperti barusan, kopi itu milik siapa saja, termasuk
abang becak, bapak sopir metromini, dan mas-mas pedagang kaki lima. Lagi pula
aku bosan berada di sekitaran Sudirman, Thamrin, Kuningan, atau Kemang.”
Annis menghentikan ocehannya dan
menjadi risih sendiri ketika sadar sedang diperhatikan lekat-lekat oleh Kavin. Pria
yang sedang menatapnya hanya tersenyum-senyum, menahan tawa.
“Aku sudah kebanyakan ngomong,
ya? Hehehe.” Tanya Annis malu-malu.
“Iya. Ocehan terpanjangmu yang
pernah kudengar selama kamu di Kopi Dadakan. Tapi terima kasih untuk ide dan
saran-sarannya. Sekarang kita berteman?” Kavin mengacungkan jari kelingkingnya
kepada Annis.
“Jadi selama ini kamu menganggap
aku musuhmu, ya?” Tuntut Annis.
“Kamu tidak seperti perempuan
yang mudah didekati, dan kamu berpotensi merecoki rencana bisnisku untuk Kopi
Dadakan. Awalnya kupikir begitu.”
“Dan kamu juga bukan seperti pria
yang bisa berkata ramah, berambisi, dan tidak suka diberi saran oleh rekannya.
Pantas saja anak buahmu sebelum-sebelumnya selalu kabur, bosnya punya mulut
berbisa dan keseringan makan cabe, sih.”
“Duh, segitunya, deh. Jadi,
berteman nggak nih, kita?” Kavin menggoda Annis dengan menyikutnya. Rasa
percaya kepada Kavin mulai terbangun dalam dirinya. Ia pun mengulurkan jari
kelingkingnya dan menyambut pertemanan Kavin. Saat jari mereka bersentuhan,
desiran itu sepintas hadir di hati keduanya. Kavin melirik jam di tangannya.
Jarumnya sudah menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Hujan baru saja reda dan
rembulan yang tadi tertutupi awan kelabu mulai menampakkan dirinya lagi. Aroma
kopi masih berbaur dengan udara di sekitar truk Kopi Dadakan. Annis menghirup
aroma tersebut dalam-dalam. Perasaan tenang yang timbul setelah menghirupnya
selalu ia sukai. Kavin menyadari apa yang selama ini luput dari perhatiannya:
lesung pipit di sisi kanan pipi Annis.
“Ayo, bersiap pulang. Sekalian
biar kuantar.” Kavin menjulurkan tangannya, dan Annis menyambut uluran
tangannya. Kopi membawa mereka pada sebuah kesimpulan lain: pada akhirnya
semuanya adalah soal rasa, bukan semata cara. Kavin dan Annis hanya perlu
saling merasa kali ini.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Komentar
Posting Komentar