Image: cancerworld.info
November 2013, Mama dinyatakan terkena kanker payudara, stadium tiga. Sehari sebelumnya, saya memergoki Mama yang sedang berganti baju sehabis mandi dan sedang bercermin menatap luka pada sebelah payudaranya. Beliau langsung menutupinya dengan handuk ketika saya melihatnya. Mau mengelak bagaimana lagi kalau sudah tertangkap basah? Dengan hati-hati akhirnya beliau pun menjelaskan apa yang selama ini sudah ia tutup-tutupi dari gadis semata wayangnya.
Bermula dari sebuah benjolan kecil di sekitar payudara kirinya, perlahan tapi pasti kanker itu terus menggerogoti sedikit demi sedikit tubuh Mama. Dari pengakuannya tersebut, benjolan pertama muncul sekitar dua tahun lalu terhitung dari November 2013 itu. Lalu diikuti dengan perubahan warna kulit payudara dan permukaan kulit seperti iritasi. Hal tersebut diiyakan oleh bibi saya, sebagai orang satu-satunya yang diberitahu Mama dan turut menyembunyikan sakitnya ini. Menurut Bibi, ia sudah membujuk Mama berulang kali sampai terjadi perdebatan di antara kakak beradik ini untuk membawa Mama berobat dini ke dokter dan melakukan serangkaian tes untuk memastikan. Sayangnya, Mama nggak mau menurut, dengan alasan: jangan sampai Titi tahu soal ini, jangan ganggu kuliahnya dengan kabar mamanya sakit, jangan buat Titi khawatir dan malah jadi berhenti kuliah karena mamanya sakit.
Meski sudah jelas benjolan pada payudara kirinya itu menjadi luka, Mama masih saja bilang bahwa itu hanya alergi biasa. Dan memang, Mama punya riwayat alergi terhadap makanan tertentu dan kadang dengan cuaca. Tapi, apa yang saya lihat sore di November 2013 itu bukan seperti alergi yang pernah beliau derita. Ini terlihat lebih serius dan jelas-jelas membuat saya khawatir. Nyatanya benar saja, dokter mengiyakan apa yang menjadi ketakutan kami semua. Kanker yang bukan hanya baru muncul, tapi sudah mulai menghabiskan tubuh Mama. Mulailah kami melakukan berbagai perawatan, meski masih saja ditolak oleh sang penderitanya. Desember 2013 beliau masih sanggup untuk bekerja. Bangun subuh dan baru kembali terlelap pada pukul delapan malam. Memasuki Januari 2014, kondisinya semakin memburuk. Luka pada payudaranya semakin menyabar ke bagian payudaranya yang lain. Pengobatan semakin kami maksimalkan. Bolak-balik rumah sakit dan terapi saya lakoni selama berhari-hari. Beliau sudah nggak bisa makan banyak. Aktivitasnya total dilakukan di atas kasur. Setiap pagi saya membopongnya ke kamar mandi untuk dimandikan dengan washlap dan mengganti perban pada luka di payudaranya. Beliau nggak mau diurus oleh orang lain, badannya hanya boleh disentuh olehku. Katanya saat kutanya kenapa nggak mau diganti perban sama orang lain, jawabnya biar saya belajar jijik, biar nanti mengurus mertua sudah terlatih karena mengurus mamanya.
Mama menolak untuk dioperasi untuk diangkat kedua payudaranya. Obrolan soal operasi ini selalu berujung dengan Mama yang selalu ngotot dengan keinginannya dan saya yang sering kali kelepasan nggak bisa menahan emosi, entah dengan suara yang jadi meninggi atau tangis yang meraung-raung. Pada kunjungan kami yang kesekian puluh ke rumah sakit, dokter memvonis Mama dengan kankernya yang sudah mencapai stadium akhir. Sel kankernya bahkan sudah memenuhi setengah rongga paru-paru Mama, yang beliau tunjukkan dengan posisi tidurnya yang sudah nggak bisa berbaring, melainkan duduk. Keluarga, kerabat, tetangga, dan teman-teman saya mulai sering datang menjenguk. Beruntung, saya memiliki ibu yang sangat kuat. Meski tamu-tamu kami sering kali menangis melihat kondisi beliau, malah beliau sendiri yang menguatkan mereka. Menyuruh mereka untuk nggak menangisinya. Bahkan saat giliran sahabat-sahabat saya yang datang, beliau masih bisa melontarkan candaanya dan tertawa bersama kami.
Februari akhir 2014, pada pukul dua dini hari Mama memilih menyerah pada kanker yang menyerangnya. Beliau bukan menyatakan kalah, menurutku, melainkan hanya ingin berdamai dengan rasa sakitnya. Nggak lagi saling menyerang untuk meruntuhkan salah satunya. Mama membawa sakit dan lukanya bersamanya dalam tidur yang panjang. Kisah Mama dan kanker payudaranya ini semakin menyadarkan saya akan satu hal: kanker payudara bisa terjadi pada siapa saja, bahkan kepada orang yang dianggap sudah menjalani hidup bersih dan sehat seperti Mama saya. Juga menjadi peringatan keras untuk saya, bahwa kanker bisa saja menurun kepada keturunan Mama dan saya selanjutnya.
Bertepatan dengan bulan Oktober ini, saya ingin membagikan kisah kecil saya yang sudah mengalami langsung bagaimana menghadapi dan merawat pengidap kanker payudara. Pengalaman yang terjadi pada saya ini bukan berarti telah menjadikan saya orang yang sudah menjaga hidup sehat dan bersih dengan total. Saya masih berusaha untuk itu, berusaha sangat keras. Semoga melalui tulisan ini, kita terus mengingatkan diri untuk menjaga diri sebaik mungkin. Juga sekaligus untuk menguatkan kamu dan mereka yang sedang berjuang menghadapi keluarga atau teman yang mengidap kanker payudara. Saya mungkin nggak bisa menyelamatkan mama saya sendiri, tapi semoga kesempatan sembuh terbuka luas untuk mereka, untukmu. :)
This is maybe the best blog you have posted and indeed the most heartbreaking one. So, I am actually speechless, I can't describe how do I feel when I read this one. But one thing for sure, she was blessed to have you. Rest in peace, Mama.
BalasHapusWow, thank you teteh :D
HapusMakasih juga buat doanya :*
Hai Ti, kamu sama aku mengalami hal yang hampir sama. Beda cerita tapi sama2 kehilangan orang tersayang karena berdamai dengan penyakitnya.
BalasHapus*big hug
Hai Undaaaa *peluk*
HapusSemoga almarhum-almarhuma ibu-bapak kita sekarang udah bahagia ya, Bun, nggak ngerasain lagi sakit apa-apa. Tinggal kita ngirimin doa terus :)
aamiin.
BalasHapusturut berduka cita ya Kak sebelumnya. semoga Mama-nya bisa bahagia dan sehat-sehat di sana.