Langsung ke konten utama

Ibu, Teh, dan Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan


Sumber foto: rebloggy.com


            Aryo baru saja akan menyulut sebatang rokok di teras belakang ketika suara deru mesin vespa tua bapak terdengar memasuki halaman depan rumah. Aryo meletakkan rokok yang belum sempat ia sulut itu di bibir asbak lalu segera berjalan membukakan pintu untuk bapak.
            “Bapak pulang sendiri? Nggak bareng sama Ibu?” Tanya Aryo sembari menyium punggung tangan bapak.
            “Ndak, Ibu masih ada keperluan katanya di kampus. Takut membuat bapak menunggu lama, jadi Ibu menyuruh bapak pulang duluan. Bapak juga lelah sekali, nggak kuat kalau menunggu lama.” Jelas bapak sambil menyandarkan badannya pada punggung kursi rotan yang ada di teras depan. Aryo melirik jam tangannya yang belum ia lepas sedari pulang kuliah tadi siang. Jarum pendeknya hampir mendekati angka lima.
            “Aku jemput Ibu dulu, lah, Pak. Udah sore begini, bisa kejebak macet Ibu di jalan. Aku pinjam vespanya ya, Pak.”
            Aryo lantas menyambar jaketnya yang tersampir di kursi ruang makan, kemudian mengambil alih kunci vespa bapak. Sudah lumayan lama juga kalau diingat-ingat Aryo tidak pernah mengantar atau menjemput Ibu keman-mana. Rasanya rindu dengan momen-momen ketika menjemput ibu. Ketika ibu teriak panik saat Aryo tak sengaja melamun hingga hampir menabrak pengendara lain, atau ketika ibu memeluk pinggang anak semata wayangnya tersebut erat-erat sambil bibirnya merapalkan doa-doa saat Aryo membawa ngebut motornya.
            “Hati-hati bawa si Dewo. Jangan sampai lecet atau body-nya lepas semua gara-gara kamu bawa ngebut. Aset bapak sama ibu itu.” Bapak, seperti biasa, memberikan petuah-petuah usangnya ketika Aryo meminjam vespa kesayangannya itu. Vespa itu memang vespa penuh kenangan bapak bersama ibu. Dewolah yang setia menemani bapak pada masa-masa pacaran dulu bersama ibu. Dewo juga yang menjadi saksi ketika bapak melamar ibu di taman ria yang langsung disambut dengan sebuah anggukan ibu. Berjasa sekali bukan si Dewo ini demi mengantarkan cinta bapak kepada ibu?

***

            Ibu berjalan mendekati Aryo yang duduk di deretan bangku semen dekat parkiran kampus. Aryo sendiri tak menyadari kedatangan wanita berusia pertengahan 40-an itu. Aryo sedang terbuai alunan merdu lagu dari earphone yang menjejali kedua telinganya sambil bersandar pada punggung bangku, dan kedua kelopak matanya merapat.
            “Tumben mau menjemput Ibu? Uang sakumu habis sebelum tanggalnya?” ucap Ibu sambil duduk di sebelah Aryo dan menarik tudung sweater yang dikenakan Aryo. Kelopak mata Aryo segera terbuka lebar dan melepas earphone di telinganya. Punggungnya seketika menegap.
            “Ibu bilang apa tadi?”
            “Tumben mau menjemput Ibu? Ada yang kamu inginkan dari Ibu sampai mau menjemput Ibu begini? Kehabisan uang saku, ya?” ulang Ibu sambil mengenakan sweater yang dibawakan Aryo.
            “Ibu aneh, deh. Masak aku jemput aja dituduh ada maunya.”
            “Ibu cuma nanya, bukan nuduh. Soalnya, kan, aneh aja pas kamu menelepon Ibu bilang mau jemput. Ini kali pertama setelah sekian bulan lalu terakhir kamu jemput Ibu.” Ibu berjalan mendahului Aryo menuju si Dewo.
            “Tapi pertanyaan Ibu tadi bernada seperti menuduh. Memang sejak kapan aku seperti penjilat begitu? Yang ngebaik-baikin Ibu ketika ada maunya. Aku jadi meragukan kalau Ibu itu Ibu kandungku.” Aryo terbahak menjahili ibunya sendiri.
            Ibu ikut tertawa kecil mendengar kelakar anak laki-lakinya yang kini telah beranjak dewasa. Hatinya seketika mencelus, dihinggapi perasaan yang aneh. Betapa waktu berjalan begitu cepat,  mengambil apa yang pernah ada, mengambil hari dan menjadikannya kenangan. Membuat jarak yang jauh dengan masa lalu. Bocah laki-laki yang dulu masih digendongnya kemana-mana kini berganti menjadi pria dewasa—hampir dewasa—yang malah mengantar dan menjemputnya kemana-mana. Bukannya waktu selalu mengganti bagian dari suatu peran dari kehidupan manusia? Karena semua ada batas waktunya. Untuk digantikan. Untuk beralih. Atau berhenti sama sekali.
            “Omong-omong, pacarmu nggak akan merengek karena tau kamu lebih memilih menjemput Ibu daripada dirinya?” Ibu membalas kelakar Aryo. Mata kedua anaknya itu menjadi melebar, tak menyangka ibunya akan meledeknya seperti itu. Ibunya tahu betul kalau Aryo tidak mempunyai kekasih saat ini. Jadi ucapan ibunya tadi bermaksud antara meledeknya karena tak kunjung memiliki kekasih atau ibunya menyangka Aryo diam-diam di belakangnya sebenarnya telah memiliki kekasih, seperti pertanyaan menyelidik. Kali ini ibunya yang terkekeh puas.
            “Udah, udah. Lanjutkan lagi tertawanya nanti. Oh ya, Bu, udah lama kayaknya kita nggak pernah makan martabak manis depan komplek rumah itu. Mau membelinya? Untuk teman ngeteh malam ini, Bu.” Kata-kata Aryo bernada antusias.
            “Boleh. Kamu yang traktir?” tanya Ibu.
            “Nggak masalah. Toh asal uangnya dari Ibu juga. Aku cuma jadi perantara. Jadi sebenernya tetap Ibu yang mengeluarkan uang.”
            Deru nyaring suara dari mesin Dewo mulai meninggalkan pelataran parkir, bersamaan dengan lembayung senja yang tergantikan dengan warna biru pekat. Lampu-lampu sekitaran gedung kampus mulai dinyalakan.

***

            Bapak asyik duduk di kursinya dengan pandangan yang tak beranjak dari majalah automotif di tangannya yang baru dibelinya tadi siang. Di sampul depan majalah terpampang dua model terbaru vespa yang terlihat modern tapi tetap terkesan klasik. Pantas saja Bapak begitu serius membolak-balik halaman dalamnya. Aryo sendiri sibuk membalas beberapa chat yang masuk ke WhatsApp dari teman-teman kuliahnya. Kemudian Ibu keluar dengan tiga cangkit teh hangat dan sepiring martabak keju kesukaan mereka di nampan kayu. Sampai Ibu meletakkan nampan di atas meja di antara kursi Bapak dan Aryo, kedua prianya itu masih sibuk dengan dunianya masing-masing. Ibu kembali ke dalam rumah dan mengambil dua barangnya yang tadi tak terbawa. Sebuah novel setebal kira-kira 200 halaman terdiam kaku dalam genggaman tangan kirinya, sedangkan tangan satunya lagi memegang sebuah gitar klasik.
            Ibu mengambil kursi di sebelah Aryo dan mulai tenggelam dalam bacaannya. Gitar klasik yang dibawanya ia taruh di lantai bersandar pada tubuh meja kecil di sana. Bapak melirik sekilas pada gitar itu. Pandangannya sekarang beralih dari gitar ke Ibu yang sekarang duduk tenang membaca novelnya dan menyeruput teh hangat miliknya sendiri.
            “Ada yang ngodein minta dinyanyiin, nih, Yo.” Seru Bapak yang langsung mendapat tatapan Aryo ke arahnya. Kini gantian Aryo yang melirik antara gitar dan Ibu. Orang yang ditatap masih tenang di tempatnya.
            “Boleh, dong, kangen sama nyanyian suami dan anak sendiri?” ujar Ibu kemudian.
            “Macam ABG aja, sih, Bu. Kalau minta dinyanyiin, ya langsung bilang ajalah. Nggak usah ngode-ngode gini.” Ledek Aryo.
            Ibu terkekeh dan menepuk kepala Aryo dengan novelnya.
            “Tapi memang bener, sih, Yo. Udah lama juga, lho, kita nggak ngumpul-ngumpul ngeteh sambil nyanyi-nyanyi gini.”
            Aryo memasang tampang berpikir. Sama halnya menjemput Ibu, kumpul bersama menghabiskan sisa hari sambil ngeteh seperti ini sudah lama tak dilakukan. Kesibukan masing-masing membuat mereka jarang meluangkan waktu bersama. Selalu ada saja yang absen. Kalau ada Bapak dan Ibu, tapi Aryo yang tak sempat. Begitu juga sebaliknya. Diingat-ingat terakhir mereka menghabiskan waktu bersama seperti ini ketika Aryo masih di tingkat satu, sekarang Aryo sudah menginjak semester terakhir. Jadi kali terakhir itu adalah sekitar kira-kira tiga tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama juga pikir Aryo.
            “Akhirnya keinginan Ibu kesampaian juga hari ini.” Kata Ibu sembari menyerut teh lagi. Bapak tampak sudah siap dengan gitar di pangkuannya. Sebuah tembang pertama dipersembahkan oleh Bapak. Lirik pertama Fly Me To the Moon milik Frank Sinarta mengalun merdu dari bibir Bapak. Tak heran jika Ibu sampai jatuh cinta pada laki-laki bertubuh sedikit kurus dan tinggi ini. Selain wajah tampannya, suara merdunya pastilah nilai tambah bagi Bapak. Ibarat barang, nilai jualnya semakin tinggi. Lagu lawas itu merupakan salah satu lagu kenangan mereka bersama. Romantis sekali dipikir-pikir pasangan yang telah hidup bersama selama 23 tahun ini.
            Ada rona merah di pipi Ibu yang tersamar oleh cahaya lampu teras belakang rumah yang berpendar sedikit kekuningan. Ibu tengah mengenang kembali masa-masa mudanya dulu. Bersama seorang pria yang sangat ia cintai selama puluhan tahun. Bapak sendiri tampak menghayati nyanyian dan petikan gitarnya. Kalau Aryo bisa gambarkan secara nyata, mungkin sekarang di kedua kepala orangtuanya sudah membumbung awan yang memperlihatkan reka ulang kejadian berpuluh tahun silam itu. Ketika pertemuan pertama mereka. Ketika Bapak menyatakan cintanya kepada Ibu hingga melamarnya. Aryo merasa seperti tertarik kembali ke masa-masa muda Bapak dan Ibunya. Menjadi time traveler yang diam-diam mengikuti mereka berdua ketika itu. Sejenak Aryo menjadi canggung berada di antara kedua orangtuanya sendiri. Seperti keberadaannya akan mengusik ‘kencan’ mereka. Malam semakin meninggi ketika Bapak menuntaskan lirik terakhir Fly Me To the Moon. Sebuah tepuk tangan melesat dari kedua tangan Ibu. Senyum di sudut bibirnya tetap terlihat anggun, mempercantik bingkai wajahnya, meski kerutan tak mampu tertutupi lagi di ujung-ujung matanya. Waktu tidak hanya menggantikan bagian-bagian hidup dari seseorang, tapi ia juga mengambil dan merubah bentuk yang ada. Tapi Aryo berharap semoga bentuk cinta di antara kedua orangtuanya tidak akan pernah berubah, meski waktu akan terus membawa mereka beranjak dari tempat dan momen yang sebenarnya ingin terus mereka tinggali. Tanpa berganti.
            “Ada yang tersipu-sipu gitu jadinya. Jadi ikutan malu, nih, yang liatnya. Aku udah kayak obat nyamuk aja di sini. Cobalah Ibu dan Bapak ambil liburan barang sehari dua hari buat kencan berdua tanpa terganggu keberadaan aku.”
            Kini Aryo mendapat tinjuan kecil di lengannya dari Bapak. “Sekarang giliran kamu, dong, yang nyanyi.” Pinta Bapak, mengasongkan gitar di pangkuannya.
            “Ibu mau lagu apa dariku?” tanya Aryo. Namun sebelum Ibu sempat menjawab, Aryo kembali menyambar.
            “Ah, yang itu aja, ya!”

Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

***

            Tak banyak momen istimewa yang Aryo lewatkan bersama Ibu. Hanya beberapa dalam ingatannya yang benar-benar bisa dianggap sebagai kenangan istimewa. Ia kemudian menyadari betapa banyak waktu yang telah ia lalui tanpa menghiraukan keberadaan ibunya. Ia lebih senang berkumpul bersama kawan-kawannya di luar dibandingkan pulang cepat dan meluangkan waktu bersama Ibu meski itu hanya sekadar makan siang bersama. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Mungkin Ibu merindukan saat-saat ia yang meminta waktu Ibu, bukan Ibu yang dalam diamnya pasti menginginkan waktunya untuk kebersamaan mereka. Ibu memang tampak baik-baik saja ketika suami dan anaknya terasa jauh baginya. Aryo melihat itu karena Ibu hampir selalu punya waktu untuk diisi dengan berbagai kegiatan, termasuk baca buku sembari minum teh hangat di teras belakang. Tapi tidak ada yang tahu kalau ternyata diam-diam Ibu menaruh harapan untuk kumpul bersama kembali. Walau hanya sekadar saling tukar cerita dan bernyanyi seperti ini. Bagi Aryo mungkin hal seperti ini merupakan hal biasa, mungkin lain halnya dengan Ibu. Bisa saja, apa yang Ibu impikan bukan suatu yang muluk. Cukup mendengar nanyian kesukaannya dari suami dan anaknya sembari minum teh di tempat favorit di rumahnya ini. Memikirkan itu, membuat hati Aryo terasa ngilu.

Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya

            Ibu tampak memejamkan mata sambil menggoyangkan kedua bahunya ke kiri dan kanan seirama dengan alunan petikan gitar Aryo. Dan Bapak dengan perasaan nyaman menyeruput teh di cangkirnya, ikut menikmati lagu kesukaan Ibu lainnya. Ya, selain mengajar, membaca buku, kopi atau teh, martabak manis, Ibu juga menyukai Payung Teduh. Terlebih dengan lagunya yang satu ini, yang tengah Aryo mainkan untuknya.

Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya...

***

            Aryo membantu Ibu merapikan cangkir-cangkir dan piring kotor bekas teh dan martabak yang tandas oleh mereka bertiga. Bapak telah lebih dulu masuk ke rumah dengan membawa gitar. Wajah Ibu tampak senang malam ini. Semu merah di pipinya tidak juga memudar. Gurat-gurat keceriaan akibat peristiwa sederhana malam itu masih tertinggal di sudut-sudut mata dan bibirnya. Terdengar pelan Ibu masih menyenandungkan nada Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan yang tadi dinyanyikan Aryo. Suaranya hanya hmm...hmm...hmm, tapi terasa sama merdunya dengan suara Bapak.
            Ketika Aryo menaruh nampan bawaannya di meja dapur, tangan Ibu menghentikan langkahnya untuk segera menjauh. Dipegangnya kedua pipi anaknya itu. Tatapannya memerangkap mata Aryo. Mata yang sama persis dengan mata yang dimilikinya. Bulat, besar, dan selalu berbinar ketika menatap hal yang ia sukai. Aryo sendiri sedikit jengah mendapat perlakuan tiba-tiba seperti itu dari ibunya. Diusapnya pelan kedua pipi Aryo.
            “Terima kasih, ya, buat lagunya. Ibu senang malam ini. Ibu udah lama menantikan momen-momen seperti tadi. Ibu cuma kangen kita bisa kumpul bareng, Ibu ngerasa sepi lihat anak Ibu sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Tapi Ibu juga sadar nggak selalu bisa memintanya padamu atau Bapak. Mungkin setelah malam ini, Ibu harus menunggu lagi yang nggak tau sampai kapan akan kembali terjadi. Maaf, ya, Ibu jadi melankolis begini malam ini. Ah, waktu selalu nggak bisa diajak kompromi, kan, Yo. Walau cuma buat melambat dan membiarkan satu momen yang kita sukai terus terjadi. Termasuk ketika Ibu harus menyadari kamu udah mulai dewasa, dan sangat terlihat baik-baik aja tanpa keberadaan Ibu.”
            Tak ada respons apa-apa yang diberikan Aryo setelah mendengar semua ungkapan Ibu. Ibu hanya merindukan keberadaannya. Itulah yang diinginkannya, bukan suatu hal yang besar. Tapi sayangnya, Aryo tak menyadarinya, hingga Ibu sendiri yang harus mengatakannya secara langsung. Sekarang rindu dan rasa bersalah berlomba-lomba menyesaki dadanya. Rasanya tak enak, tak nyaman. Bukankah rasa bersalah tercipta memang untuk tujuan membuat manusia merasa tidak nyaman? Sebelum Ibu pergi menjauh, Aryo menarik tubuh Ibu yang sekarang tampak kecil dibandingkan tubuhnya ke dalam dekapannya. Kata-kata tak lagi mampu menguraikan apa yang tengah Aryo rasakan, tapi mungkin sebuah pelukan bisa menjelaskan itu semua. Rasa bersalah telah mengabaikan Ibu boleh saja masih mendiami hatinya, tapi ada rasa rindu dan dicintai yang jauh lebih besar yang Aryo rasakan kini. Bait lirik Payung Teduh kembali terulang dalam ingatannya bersama kebersamaan mereka sekelurga malam ini. Setelah malam ini berlalu, momen tadi akan merupa kenangan di hari-hari mendatang. Sebuah kenangan manis.

Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

....

Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas

Banyak rindunya...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj