Sumber foto: goodreads.com
London: Angel ini adalah novel ketiga yang saya baca bulan ini dari 25 buku yang menjadi tantangan bacaan tahun ini. Di luar dari "bucket list" bacaan saya sebenarnya, karena dalam daftar buku yang ingin saya baca sepanjang tahun ini, saya sama sekali tidak mencantumkan London ke dalam salah satu nomor dalam "bucket list" tersebut. Berawal dari Interlude dan Walking After You, saya mulai penasaran dengan kisah-kisah Mbak Windry yang ia tuangkan lewat jari-jarinya yang terampil melahirkan mantra sihir lewat kata-katanya. Setelah terperangkap dalam kisah Kai dan Hanna, lalu jatuh cinta pada Julian dan An, saya seakan memburu karya-karyanya yang lain. Beruntung, seorang teman mengatakan bahwa ia memiliki salah satu dari tujuh novel yang telah diterbitkan Mbak Windry; London: Angel.
Sebelum meminjamnya, saya bertanya dan sedikit berdiskusi mengenai novel ini dengan teman saya tersebut. Ia kagum dengan cara Mbak Windry mendeskripsikan setiap tempat atau benda yang berhamburan dalam novel ini. Detail dan sangat teliti, begitu katanya. Selebihnya, ia-teman saya itu- terhibur dan puas dengan kisah yang disajikan. Manis, kalau saya tidak salah dengar di akhir diskusi kami.
Percayalah, tidak ada yang menyenangkan bagi mahasiswa Sastra Inggris ketika membaca suatu tulisan atau karya dalam bentuk apapun jika di dalamnya penuh dengan penggambaran tentang kota tempat King Henry pernah berkuasa. Tentang kota yang selalu kelabu, dingin, dan basah. Dan lewat novel ini, kami-saya dan teman saya itu- sedikit terobati dari rasa penasaran dan keinginan yang sangat untuk suatu hari menginjakkan kaki di sana dan merasakan sensasi berjalan-jalan di bawah rintik hujan yang sunyi (begitu selalu Mbak Windry menggambarkan hujan yang turun di London) dalam mantel tebal, jas hujan, sepatu bot, dan payung yang terkembang. Berdiri di depan London Eye atau menapaki kaki di Shakespeare's Globe Theatre. Novel ini berhasil membawa kami, setidaknya hanya angan kami, merasakan suasana kota cantik itu.
Memang agak sedikit terlambat membaca novel ini, mengingat novel ini diterbitkan pada tahun 2013 lalu. Tapi, bukannya tidak ada kata terlambat untuk sebuah karya yang baik? :p
Dilihat dari judulnya saja, setiap orang yang membacanya akan langsung mengasosiasikannya pada ibukota Inggris itu. Tidak ada London yang lain selain 'yang itu', kan? Sejauh yang kutahu, sih...hehehe :p Di dua bab pertama, pembaca mulai disuguhi dengan latar yang berganti dari Jakarta ke London. Pada bab selanjutnya, pembaca akan lebih sering lagi disuguhi segala tentang London. Penduduk, suasana, tempat-tempat, cuaca, dan sebagainya. Bagi saya sendiri, pada bab-bab ini saya menjadi lebih fokus pada penggambaran latar dibanding dengan ceritanya. Saya sempat berpikir, apa karena Mbak Windry yang kelewat detail atau hanya saya yang terlalu terpukau pada penggambaran Mbak Windry tentang London. Deskripsi mengenai berbagai tempat, rute perjalanan, makanan, cuaca sangat apik. Tapi karena 'apik' ini, saya jadi kurang menikmati kisah yang sedang disuguhkan dalam novel ini. Seperti, keindahan London telah mengalahkan ruh dari cerita ini sendiri. Hingga saya merasa hanya menikmati setengah bagian dari novel ini. Saya menikmati, tapi bukan lebih kepada esensi ceritanya, malah pada sibuk membayangkan setiap penggambaran London.
Sampai pada pertengahan novel, saya masih belum menemukan 'gregetnya' kisah Gilang dan Ning. Lagi, saya malah asyik mengikuti kisah Mister Lowesley dan Madam Ellis. Jujur saja, saya hampir bosan karena tak kunjung sampai pada klimaks bagian Gilang dan Ning. Ditambah dengan Gadis Goldilocks yang mungkin selalu membuat pembaca bertanya-tanya dari awal kemunculannya hingga akhir cerita. Menerka-nerka siapa sebenarnya ia, peran apa yang sedang ia mainkan dalam cerita ini. Menerka sambil terus mencari benang merah dan kesimpulan dari seluruh kisah antara ia dan tokoh yang lainnya.
Namun kesemua hal yang saya sebutkan di atas terbayar dengan akhir yang manis. Cukup mengobati rasa bosan dan penasaran tentang Gilang dan Ning. Tidak sepenuhnya drama, tidak terlalu menguras emosi atau bahkan isakan. Semuanya terasa pas tidak berlebihan. Seperti kata saya, manis :)
Novel ini masih sama dengan novel lainnya yang bicara tentang romance. Tapi satu yang saya temui dan pelajari dari novel ini adalah terkadang kita hanya takut memulai, untuk jatuh cinta, untuk mengungkapkan perasaan, karena kita hanya tidak mau kehilangan apa yang sudah kita miliki selama ini. Memulai memang tak selamanya menjanjikan kita mendapatkan apa yang kita mau dari sejak awal. Tapi memulai selalu menuntun kita pada keberanian, entah itu untuk berkorban, penantian panjang, penyesalan, patah hati, atau bahkan kehilangan. Tapi menurut saya, itu yang namanya hidup. Penuh risiko dan setiap risiko punya pelung. Dan kita tidak akan pernah tahu sampai kita mencobanya. Apa salahnya mencoba, klise memang ungkapan ini. Tapi saya yakin, setiap kita mencoba kita telah memperbesar peluang itu, bahkan untuk hasil yang gagal sekalipun. Karena setiap kita mencoba, entah berhasil atau gagal, kita akan selalu dihadapkan dengan kisah hidup yang lain, dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dalam benak kita. Bukankah kita hanya perlu percaya, bahwa Tuhan adalah Yang Maha Perencana yang baik? Lebih dari baik :)
Kita hanya perlu percaya pada setiap kita mencoba, kita telah membuktikan bahwa kita mampu melewati segala hal yang tengah menanti di depan sana. Dalam rentang waktu yang entahlah (mencuri ungkapan Gilang :p), kita akan melewatinya dan pada garis finish nanti kita mendapati diri kita tetap baik-baik saja. Seperti Gilang yang meninggalkan London dengan hati yang patah sekaligus menemukan babak baru dalam hidupnya.
Oh, ya, omong-omong...percaya tidak bahwa kadang orang yang sangat kau inginkan untuk menjadi lebih dari sekadar, katakan saja sahabat, sebenarnya sudah cukup dengan posisinya yang seperti sekarang dalam hidupmu tanpa harus menjadi siapa-siapa atau bahkan lebih dari 'posisinya' sekarang? Dan biarkan orang lain yang menempati posisi itu. Orang-orang di luar dugaanmu. Saya rasa, hidupmu akan terasa lebih lengkap.
Selamat memulai kembali,
selamat jatuh cinta kembali :)
"I fell in love with you, I don't know how, I don't know why, I just did.
I loved you yesterday, I love you still, I always have, I always will..."
Judul: London: Angle
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas Media (2013)
Jumlah halaman: 330
Sebelum meminjamnya, saya bertanya dan sedikit berdiskusi mengenai novel ini dengan teman saya tersebut. Ia kagum dengan cara Mbak Windry mendeskripsikan setiap tempat atau benda yang berhamburan dalam novel ini. Detail dan sangat teliti, begitu katanya. Selebihnya, ia-teman saya itu- terhibur dan puas dengan kisah yang disajikan. Manis, kalau saya tidak salah dengar di akhir diskusi kami.
Percayalah, tidak ada yang menyenangkan bagi mahasiswa Sastra Inggris ketika membaca suatu tulisan atau karya dalam bentuk apapun jika di dalamnya penuh dengan penggambaran tentang kota tempat King Henry pernah berkuasa. Tentang kota yang selalu kelabu, dingin, dan basah. Dan lewat novel ini, kami-saya dan teman saya itu- sedikit terobati dari rasa penasaran dan keinginan yang sangat untuk suatu hari menginjakkan kaki di sana dan merasakan sensasi berjalan-jalan di bawah rintik hujan yang sunyi (begitu selalu Mbak Windry menggambarkan hujan yang turun di London) dalam mantel tebal, jas hujan, sepatu bot, dan payung yang terkembang. Berdiri di depan London Eye atau menapaki kaki di Shakespeare's Globe Theatre. Novel ini berhasil membawa kami, setidaknya hanya angan kami, merasakan suasana kota cantik itu.
Memang agak sedikit terlambat membaca novel ini, mengingat novel ini diterbitkan pada tahun 2013 lalu. Tapi, bukannya tidak ada kata terlambat untuk sebuah karya yang baik? :p
Dilihat dari judulnya saja, setiap orang yang membacanya akan langsung mengasosiasikannya pada ibukota Inggris itu. Tidak ada London yang lain selain 'yang itu', kan? Sejauh yang kutahu, sih...hehehe :p Di dua bab pertama, pembaca mulai disuguhi dengan latar yang berganti dari Jakarta ke London. Pada bab selanjutnya, pembaca akan lebih sering lagi disuguhi segala tentang London. Penduduk, suasana, tempat-tempat, cuaca, dan sebagainya. Bagi saya sendiri, pada bab-bab ini saya menjadi lebih fokus pada penggambaran latar dibanding dengan ceritanya. Saya sempat berpikir, apa karena Mbak Windry yang kelewat detail atau hanya saya yang terlalu terpukau pada penggambaran Mbak Windry tentang London. Deskripsi mengenai berbagai tempat, rute perjalanan, makanan, cuaca sangat apik. Tapi karena 'apik' ini, saya jadi kurang menikmati kisah yang sedang disuguhkan dalam novel ini. Seperti, keindahan London telah mengalahkan ruh dari cerita ini sendiri. Hingga saya merasa hanya menikmati setengah bagian dari novel ini. Saya menikmati, tapi bukan lebih kepada esensi ceritanya, malah pada sibuk membayangkan setiap penggambaran London.
Sampai pada pertengahan novel, saya masih belum menemukan 'gregetnya' kisah Gilang dan Ning. Lagi, saya malah asyik mengikuti kisah Mister Lowesley dan Madam Ellis. Jujur saja, saya hampir bosan karena tak kunjung sampai pada klimaks bagian Gilang dan Ning. Ditambah dengan Gadis Goldilocks yang mungkin selalu membuat pembaca bertanya-tanya dari awal kemunculannya hingga akhir cerita. Menerka-nerka siapa sebenarnya ia, peran apa yang sedang ia mainkan dalam cerita ini. Menerka sambil terus mencari benang merah dan kesimpulan dari seluruh kisah antara ia dan tokoh yang lainnya.
Namun kesemua hal yang saya sebutkan di atas terbayar dengan akhir yang manis. Cukup mengobati rasa bosan dan penasaran tentang Gilang dan Ning. Tidak sepenuhnya drama, tidak terlalu menguras emosi atau bahkan isakan. Semuanya terasa pas tidak berlebihan. Seperti kata saya, manis :)
Novel ini masih sama dengan novel lainnya yang bicara tentang romance. Tapi satu yang saya temui dan pelajari dari novel ini adalah terkadang kita hanya takut memulai, untuk jatuh cinta, untuk mengungkapkan perasaan, karena kita hanya tidak mau kehilangan apa yang sudah kita miliki selama ini. Memulai memang tak selamanya menjanjikan kita mendapatkan apa yang kita mau dari sejak awal. Tapi memulai selalu menuntun kita pada keberanian, entah itu untuk berkorban, penantian panjang, penyesalan, patah hati, atau bahkan kehilangan. Tapi menurut saya, itu yang namanya hidup. Penuh risiko dan setiap risiko punya pelung. Dan kita tidak akan pernah tahu sampai kita mencobanya. Apa salahnya mencoba, klise memang ungkapan ini. Tapi saya yakin, setiap kita mencoba kita telah memperbesar peluang itu, bahkan untuk hasil yang gagal sekalipun. Karena setiap kita mencoba, entah berhasil atau gagal, kita akan selalu dihadapkan dengan kisah hidup yang lain, dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang sebelumnya tak pernah terpikirkan dalam benak kita. Bukankah kita hanya perlu percaya, bahwa Tuhan adalah Yang Maha Perencana yang baik? Lebih dari baik :)
Kita hanya perlu percaya pada setiap kita mencoba, kita telah membuktikan bahwa kita mampu melewati segala hal yang tengah menanti di depan sana. Dalam rentang waktu yang entahlah (mencuri ungkapan Gilang :p), kita akan melewatinya dan pada garis finish nanti kita mendapati diri kita tetap baik-baik saja. Seperti Gilang yang meninggalkan London dengan hati yang patah sekaligus menemukan babak baru dalam hidupnya.
Oh, ya, omong-omong...percaya tidak bahwa kadang orang yang sangat kau inginkan untuk menjadi lebih dari sekadar, katakan saja sahabat, sebenarnya sudah cukup dengan posisinya yang seperti sekarang dalam hidupmu tanpa harus menjadi siapa-siapa atau bahkan lebih dari 'posisinya' sekarang? Dan biarkan orang lain yang menempati posisi itu. Orang-orang di luar dugaanmu. Saya rasa, hidupmu akan terasa lebih lengkap.
Selamat memulai kembali,
selamat jatuh cinta kembali :)
"I fell in love with you, I don't know how, I don't know why, I just did.
I loved you yesterday, I love you still, I always have, I always will..."
Judul: London: Angle
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagas Media (2013)
Jumlah halaman: 330
Komentar
Posting Komentar