Langsung ke konten utama

Halaman Satu


Sumber foto: mumsintheknow.co.uk



Holla,

Setelah sekian minggu nggak berkunjung ke rumah virtualku ini, akhirnya bisa menyempatkan menulis postingan pertama di tahun ini di sela-sela tenggat waktu revisi skripsi. Well, awalnya sih, postingan ini rencananya mau di-publish tepat saat jarum jam bergerak meninggalkan detik-detik pengujung 2014 menuju detik-detik pertama di 2015, tepat saat tiupan terompet pertama yang ditiup oleh keponakanku dan juga saat kembang api pertama melesat ke atas dari rumah tetangga depan rumah. Tapi, karena satu dan lain hal yang harus kukerjakan terlebih dahulu di hari-hari terakhir tahun 2014 hingga hari-hari awal tahun 2015, jadi tulisan ini sedikit terlupakan dan masuk ke kotak draft. It is a very late post, isn't it?

Tapi, nggak apa-apa ya, walau telat (banget) juga. Kan, lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali? :p

Seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang ketika menghadapi dan melewati pergantian tahun, aku pengin berpartisipasi meramaikan tahun baru dengan me-list berbagai hal yang ingin kulakukan sepanjang tahun ini, atau yang biasa disebut dengan resolusi. Jadi selain menyiapkan kopi, DVD film, novel, dan camilan, aku pun menyiapkan beberapa post it yang siap ditempelkan pada salah satu dinding kamarku sebagai hiasan berisi resolusi tahun ini. Post it-post it baru itu kini menggantikan posisi post it-post it berisi resolusi tahun lalu, yang yaa...nggak seluruhnya tercapai dan terlaksana. Dan resolusi-resolusi tahun ini pun beberapa adalah hasil modifikasi dari resolusi tahun lalu.

Bicara soal modifikasi resolusi, jadi ingat dengan salah satu postingan dosenku beberapa waktu lalu yang juga membahas tentang resolusi. Dengan judul "Bukan Harga Mati", beliau berbagi sedikit mengenai resolusi yang sering kali dijadikan sebagai suatu momen perubahan dan perbaikan. Ya, aku pun meng-iya-kan hal tersebut. Tahun baru dan resolusi sepertinya sudah menjadi bagian ritual yang nggak terpisahkan di masyarakat kita. Dalam postingan tersebut, dosenku itu nggak banyak mengungkapkan pandangannya soal resolusi itu sendiri. Alih-alih akan mendapatkan list-list resolusi milik beliau (dasar mahasiswa kepo! :p), aku hanya menemukan satu teori yang baru pertama kali aku lihat dan dengar.

Nama teori yang disinggung oleh dosenku itu adalah sunk cost fallacy yang dicetuskan oleh Rolf Dobelli. Teori ini benar-benar asing sama sekali di telingaku. Bahkan untuk menyebutkannya saja harus sedikit tergagap-gagap dan terus mengingat spelling-nya. Dalam keadaan setengah mengantuk di tengah malam hampir dini hari, setelah membaca postingan tersebut-yang memang sengaja beliau share dalam grup angkatan kami-aku kembali berseluncur di internet dengan ditemani si Mbah Google untuk mencari tahu asal-usul sunk cost fallacy dan siapa gerangan Rolf Dobelli ini.

Berdasarkan penjelasan singkat dosenku dan dari beberapa situs yang kukunjungi, akhirnya aku menarik satu kesimpulan bahwa teori ini adalah mengacu pada bentuk pola pikir. Seperti namanya suck cost "fallacy", jadi adanya kekeliruan dalam pola pikir tersebut. Nah, yang uniknya buatku, dosenku ini mengaitkan antara sunk cost fallacy ini dengan resolusi yang hendak kita buat. Beliau menyarankan untuk lebih mempertimbangkan terutama pada rencana untuk melanjutkan resolusi yang belum tercapai atau terlaksana di tahun sebelumnya.

Kaitannya antara resolusi dan sunk cost fallacy adalah bahwa terkadang nggak sedikit dari kita lebih memilih untuk tetap melakukan dan melanjutkan apa yang sebenarnya nggak sesuai dengan kemampuan kita, dengan alasan karena kita udah kepalang mengeluarkan usaha dan pengorbanan yang nggak sedikit untuk mencapai resolusi ini, baik berupa waktu dan tenaga maupun uang. Kita lebih sering menghiraukan apa yang udah kita keluarkan ketimbang mempertimbangkan kembali soal resolusinya sendiri. Kayaknya kita jauh lebih sering memikirkan "Berapa duit, ya, yang udah gue keluarin buat sampe ke tahap ini?" daripada "Sebenernya gue cocok nggak, sih, di bidang ini atau melakukan hal ini? Apa udah sesuai sama kemampuan gue? Apa gue mampu melakukan dan mencapai hal ini?"

Jujur aja, buat diri sendiri pun, aku masih lebih sering mikirin hal yang pertama ketimbang yang kedua. Nah, inilah yang dinamakan sunk cost fallacy, guys. Setelah berkali-kali membaca postingan itu, aku jadi merenung kembali atas apa yang udah aku tuliskan dalam What I Wanna Do This Year-Bucket List. Akhirnya, aku melakukan perombakan pada bucket list milikku. Ada yang benar-benar dibuang dan ada juga yang tetap dipertahankan setelah meyakinkan bahwa resolusi tersebut udah sesuai dengan kemampuanku dan juga yang sekiranya benar-benar bisa kulakukan tahun ini. Nih, berikut adalah bucket list dari resolusiku.

1. Lulus kuliah, minimal bisa ikut wisuda di bulan Agustus nanti,
2. Dapet kerjaan begitu beres sidang sambil menunngu wisuda,
3. Nulis cerpen, minimal satu/dua setiap bulannya,
4. Rajin blogging, minimal satu postingan setiap minggu,
5. Pengin piknik sama anak-anak Linguistics,
6. Ikut event-event nulis, workshop, talkshow kepenulisan atau launching novel,
7. Mengunjungi tempat-tempat baru lebih banyak lagi,
8. Safe money, harus lebih rajin lagi tahun ini,
9. Lost weight, seenggaknya bisa ngecilin ukuran celana dua nomor, lah,
10. Pengin belajar dan bisa copywriting,
11. Pengin belajar bahasa Jerman dan Prancis,
12. Pengin khatam Al-Quran dengan niat buat diri sendiri, Papa, dan Mama,
13. Baca lebih banyak buku lagi dibanding tahun lalu, dan terakhir....
14. Be more awesome than last year!

Poin ke-14 itu tolong di-highlight, yaa... hehehe :p

P.S: postingan dosenku yang mengenai sunk cost fallacy itu, bisa kalian lihat di sini, guys :)

Komentar

  1. Walah... banyak juga yahh...

    Ditunggu balasan Liebster Awardnya. Check: http://nocturnalglee.blogspot.com/2015/01/liebster-award.html

    BalasHapus
  2. Halo, Gamal. apanya yang banyak? resolusinya atau tulisannya? :) hehehe

    Hai, Fikri. halaman duanya dalam bentuk postingan dan judul yang lain, ya :)

    Salam kenal buat kalian berdua :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj