Langsung ke konten utama

Ketika Hanya Bicara Bukan Merasakan


Inilah perasaanku saat ini. Sedih bercampur kesal. Masih berhubungan dengan persoalan kemarin. Tapi hari benar-benar membuatku naik darah dan tidak dapat mengontrol emosiku. Pulang ke rumah uring-uringan nggak jelas, sensitif banget, ditanya dikit langsung ketus banget. Padahal di kampus biasa aja, ketawa-ketiwi, becanda sana sini. Tapi semua itu langsung lenyap saat pulang. Entah karena capek dan pusing setelah test TOEIC tadi, ditambah lagi jalanan yang selalu macet dan angkot yang ngetem, di mana ngetemnya itu lebih lama dibandingkan dengan durasi waktu aku mandi dan sarapan tadi pagi. Bikin jengkel memang :(
 
Dan ketika sampai di rumah, makin-makin lah tambah nggak bagus moodnya. Soal sepele sih sebenarnya. Mungkin karena kondisiku yang sedang seperti ini, jadi agak berlebihan kesannya :p
 
Jadi intinya, aku merasa nggak dimengerti oleh orang-orang di sekitar, terutama di rumah. Mereka cuma bisa menyuruh ini itu, menasihatiku ini itu, harus mengurus mama seperti ini itu, tapiii...... mereka nggak ada yang membantu turun tangan melakukan hal itu semua. Mereka hanya bisa bicara, tanpa tau keadaan perasaanku. Memang nggak bisa menyalahkan sepenuhnya pada mereka, tapi yang bikin kesal tuh ya itu tadi. Mereka bicara harus A harus B, tapi nggak ada yang bilang dan menawarkan: "Udah kamu urus yang ini, biar yang lain kita tangani."
 
Aku kesal dengan situasi yang seperti ini, seakan-akan mereka tidak peduli tapi sebenarnya peduli, namun hanya caranya aja yang disayangkan. Jadinya aku, malam ini, merasa seperti tidak ada yang mengerti dan bisa mengerti perasaanku. Nyatanya aku nggak bisa berbuat banyak, hanya melakukan semampuku dalam mengurus mama. Sekali lagi, aku memang tidak menyalahkan mereka, karena mereka tidak merasakan langsung apa yang aku rasakan. Dan juga aku tidak memaksa mereka untuk ikut merasakannya. Cuma, aku ingin dimengerti saat ini. Aku hanya perlu sebuah tindakan, bukan sekadar kata-kata lagi.
 
Sekian, dan terima kasih,
Selamat malam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj