Rabu, 15 Januari 2014
21.41 WIB
Aku masih terus memandangi SMS terakhir darimu, yang begini isinya:
iya, thanks..
Pertanyaan-pertanyaan tetap menggelayut dalam benakku. minta dijawab, tapi aku sendiri tak berani bertanya. Lah, emang aku ini siapanya kamu, kan? Tapi tetap saja, aku gemas ingin bertanya. Aku pandangi lagi SMS-SMS mu sebelumnya. Aku hanya bisa menghela napas. Rasa lelah seharian kuliah, pikiran yang tengah berkeliaran kemana-mana, kantuk yang tak tertahankan, rasa-rasanya semakin berlipat-lipat setelah aku medapat SMS darimu itu. Lagi-lagi aku menyesali, kenapa aku SMS kamu duluan? Tadinya aku pikir kamu lagi ada di rumah, dan aku mau minta tolong dijemput di Terminal Laladon karena keadaanku yang sangat letih.Tapi ternyata beginilah balasan yang kudapat:
Waalaikumsalam. Maaf, Ti.. aku di luar kota sampai 10 hari kedepan.
Lalu, selanjutnya, kau bilang:
Maaf, Ti.. udah di Bima. Kakek sakit..
Berkali-kali kulihat SMS-SMS itu, berharap ada sepatah kata atau sepenggal kalimat yang terlewat kubaca. Nihil. Memanh hanya segitu dan begitu isinya. Di balik lelah dan kantuk yang menerkam tubuhku, aku mencoba menenangkan diri. Takut saja emosiku tiba-tiba meledak. Aku sedang berada di angkot ketika itu, membaca setiap SMS darimu, sedang pikiran hanya melukis dirimu yang berjalan menjauh di lobi bandara. Aku ingin mengumpat. Dan entah sudah berapa umpatan yang aku telan bulat-bulat. Menahan semampu mungkin agar tak ada satupun yang terlontar.
Kenapa tak memberi kabar? Kenapa tak pamitan? Terlampau sibuk atau panik kah kamu menyiapkan kepulanganmu? Kenapa tak menitipkan rumah? Dan mungkinkah kamu akan cepat-cepat mengabariku kalau aku tak mengirim SMS dan menanyai keberadaanmu? Lupakah kamu dengan aku? Tak berpikirkah olehmu jika aku akan khawatir?
Aku mencoba menjawab pertanyaan-pertamyaan itu sendiri, meski tak yakin dengan jawaban yang kubuat sendiri. Aku menjawab satu-satu daam langkahku pulang menyusuri jalanan gang yang sepi malam ini. Aku terlampau lupa dengan takutku selama perjalanan tadi, karena pikiranku teralihkan seluruhnya padamu.
Dan saat kutemui Mama di rumah, aku langsung memberitahunya kabar tetang dirimu. Dari rautnya, dia sama kecewanya denganku. Sedangkan aku? Dada ini semakin sesak. Tuhan tengah bermain dengan perasaanku malam ini. Ia campur adukkan perasaanku menjadi satu. Sampai aku sendiri tak dapat membedakannya, mana itu perasaan lega karena mendapat kabar darimu? Mana rasa kesal dan sedih yang aku timbulkan akibat kepulanganmu? Kembali, aku bertanya, Lah..memangnya aku ini siapanya kamu??
Mama tak banyak komentar setelah itu. Kami belum beranjak dari kursi meja makan, setelah menyantap makan malam dengan perasaan yang hambar dan pikiran-pikiran yang mengawang. Tentang kamu.
"Hmm...." begitu kata kami berbarengan.
Aku hanya mampu tertunduk lemas. Dan kurasakan pandanganku mulai mengabur. Ada yang menggenang di pelupuknya.
Komentar
Posting Komentar