Langsung ke konten utama

#Surat Kedua (Menyelisih Hari)


Sabtu, 18 Januari 2014
10.15 WIB 

Yang pasti setelah hari kepulanganmu, aku memiliki pekerjaan baru. Mulai dari pertama kali aku membuka mata saat bagun pagi, hingga mata ini akan terpejam lagi malam nanti. Yaa.. pekerjaan baruku itu ialah menghitung hari. Hari kepergianmu. Sejak Selasa lalu hingga 10 hari kedepan. Itu pun jika tak ada perubahan. Bukan begitu? Bisa saja 10 hari itu dapat beranak pinak menjadi 30 hari, bahkan bisa jadi angka 100 mungkin.

Entah sudah berapa kali aku melirik kalender dalam sehari. Entah berapa kali aku memandangi jam dinding, memperhatikan jarum-jarumnya bergerak, dan detaknya membuatku semakin tak sabar menanti hari ke-10 nanti. Entah berapa kali juga aku terbangun dengan harapan bahwa hari ini adalah hari ke-10. Hari kepulanganmu kembali ke sini. Ah, ada apa denganku ini? Senang benar sekarang ini dengan angka 10? Padahal masih dapat dihitung dengan tangan, namun rasanya sungguh lama dinanti. 


Seperti tadi pagi, ketika aku melewati asramamu saat akan pergi ke kampus, lagi-lagi aku menoleh ke arah kamarmu. Padahal sudah jelas-jelas tidak ada kamu, tidak ada yang harus aku perhatikan di sana selain lampu philips 20 watt yang terus menyala selama beberapa hari di dalam kamarmu. Namun sepertinya, mata ini sudah terbiasa untuk melirik barang beberapa detik ke arah sana setiap kali aku melewatinya. Dan, aku masih saja berharap hari ini adalah hari ke-10.

Lekas pulang.. walau cepat atau lambat.
Jangan lagi biarkan jari-jari ini menyelisih hari kepulanganmu..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj