Senin, 20 Januari 2014
17.33 WIB
Itu tandanya aku sudah tidak dapat menahan lagi ketidakpedulianku. Akhirnya aku SMS kamu juga, kan. Sekadar menanyai kabar, itu saja. Berpikir kamu pun akan menanyai kabarku juga, namun sayangnya tidak. Tak apalah. Bukan sesuatu hal yang wajib kamu lakukan juga, kan.
Hujan di luar ketika kukirim SMS padamu. Rintik. Derasnya telah berlalu sekitar sejam lalu. Bagaimana di sana? Apa hujan juga? Aku telah pasrah dan tak berharap mendapat balasan darimu. Aku tengah terlampau asik memandangi bulir-bulir tetes hujan yang membahasi jendala kamarku. Tetesnya membuat alur seperti aliran sungai kecil di permukaan kacanya. Beriak-riak, berjatuhan satu-persatu di ujung jendela. Aku selalu nyaman dengan suasana seperti ini. Menjelang senja, lalu rintik hujan turun, duduk berlama-lama memandangi jendela yang bahas oleh bulir-bulir air hujan, lalu ditemani secangkir cappucino hangat. Rasanya lengkap.
Memang benar, seharusnya tak dinanti, tak perlu ditunggu, karena ia, apapun itu, akan datang dengan sendirinya. Aku tak mengharap balasan SMS darimu tapi ternyata kamu membalasnya!
Aku terkesiap. Dengan rasa antusias yang meletup-letup, kubuka pesan itu. Tak ada yang salah dengan ketikannya, namun seketika mampu membuatku muram. "Aku sakit", begitu katamu. Aku menimang-nimang balasan apa yang harus aku berikan padamu. Atau aku seharusya tak perlu repot-repot membalas pesanmu. Namun, beginilah aku terhadapmu. Selalu panik jika ada sesuatu yang berhubungan denganmu.
Kamu sakit, dan tak ada yang bisa aku perbuat selain pikiranku mengawang padamu kembali sore ini. Membayangkan wajahmu yang lemas, wajahmu yang pucat. Tak ada yang bisa kuperbuat selain, semoga kamu lekas sembuh.
Dan pada rintik hujan, aku berkisah tentangmu. Segala tentangmu.
Dan pada rintik hujan, aku titip rindu padanya...
Dan pada rintik hujan, aku titip rindu padanya...
Komentar
Posting Komentar