Langsung ke konten utama

Gadis Kecil di Senja Itu

Karena harus menulis surat untuk orang asing di foto yang diambil sendiri, jadilah aku seharian ini membuka file-file foto lama yang ada di handphone dan Facebook. Lumayan banyak juga foto-foto yang aku ambil beberapa tahun yang lalu bersama sahabat-sahabatku di SMA. Mulai dari foto yang disengaja sampai foto. Ada juga foto iseng-iseng yang diambil saat jam kosong di kelas sampai kegiatan resmi yang diadakan sekolah. Melihat itu semua, memori ingatanku kembali ke tempat-tempat dan waktu saat foto itu diambil. Aku dibuat tertawa geli sendiri, senyum-senyum nggak jelas, sampai rindu mulai merayapi hati. Ah, betapa masa itu sangat menyenangkan dan selalu membuat ceria. Entah sudah berapa lama aku tidak bertemu dengan mereka semua. Kubiarkan rindu ini mengawang bersama doa-doa yang aku panjatkan untuk mereka agar selalu dalam cinta-Nya.
Sampai akhirnya aku menemukan foto ini, sebagai foto penutup dari ribuaan foto yang aku miliki. Mereka yang ada di foto itu adalah sahabat-sahabatku, mulai dari yang paling kiri ada Endah, Ika, Lu'lu, Dhidi, dan Ega. Foto itu diambil sekitar tiga tahun yang lalu, di suatu hari Jumat sore (kami selalu memakai gamis sebagai seragam sekolah setiap hari Jumat), ketika kami pergi ke salah satu tempat makan dekat sekolah untuk merayakan ulang tahun salah satu sahabatku, Endah. 
Dan, siapa gadis kecil yang ada di tengah itu??
Aku pun tak tahu. Lupa tepatnya. Seingatku dia ada di sana ketika kami makan di tempat itu. Entah siapa namanya. Kami tak sempat menanyakan. Atau... lagi-lagi aku yang lupa. Dia memperhatikan kami yang bersenda gurau selama makan. Karena tempat makan yang sepi, hanya ada kami ketika itu, kami menjadi satu-satunya pusat perhatian untuknya dan beberapa pegawai tempat makan itu. Lelucon dan derai tawa yang kami ciptakan memenuhi seisi rumah makan. Sesekali si gadis kecil ikut tertawa melihat tingkah kami. Menyadari kehadirannya yang semakin mendekat ke meja kami, Lu'lu menyapanya dan mengundangnya untuk duduk bersama kami.
Kami yang menyukai anak kecil, menjadikannya bulan-bulanan kegemasan kami. Beberapa pertanyaan mulai kami lontarkan untuknya. Sesekali dia tersenyum karena malu, kadang tertawa melihat kelakuan kami yang aneh. Obrolan kami terus berlanjut hingga makanan kami habis dari beberapa menit yang lalu. Hingga pada saat kami akan pergi, sahabat-sahabatku itu pun mengajaknya berfoto bersama karena milihat muka lucunya. Dengan malu-malu, dia mengiyakan ajakan kami. Jika sudah berfoto begitu, aku lah sang juru foto. Mengarahkan dan mengambil setiap pose yang mereka lakukan. Si gadis kecil yang ada di tengah tetap seperti itu gayanya, dia sangat malu dan canggung sepertinya. Tetapi aku tahu dia pun ikut merasa senang berfoto dengan kami.
Sampai beberapa kali kami berkunjung ke tempat makan itu, dia selalu ada di sana. Sudah mandi dan memakai piyama yang lucu-lucu. Aroma minyak telon dan bedak bayi tercium dari tubuhnya. Membuat kami selalu gemas ingin memeluknya.
Kehadirannya di senja itu membawa kesan untuk kami semua. Tentang masa kecil yang penuh keceriaan. Tanpa beban dan kesulitan. Kami dibawa berjalan kembali menyusuri kenangan masa kecil. Ada yang begini, ada yang begitu. Kami memiliki jalan cerita sendiri-sendiri. Betapa kami rindu masa itu. Waktu teramat cepat membawa kami pada kedewasaan. Namun, yang kami tahu, kami pernah memiliki masa kecil yang indah, dan sempat memiliki fase pertumbuhan itu dengan sangat menyenangkan. 
Si gadis kecil mengajarkan kami untuk mensyukuri masa kecil kami yang sungguh luar biasa yang telah kami tinggalkan di belakang sana. Dia juga mengingatkan kami untuk terus menjaga dan menyimpan semua kenangan itu, sampai suatu saat kami memiliki buah hati, kami mampu menceritakannya kepada mereka. 
Setelah beberapa tahun berlalu dari pertemuan kami dengan si gadis kecil itu, kami masih mengingatnya. Melalui foto ini, kami memiliki kenangan bersamanya.
Sudah seperti apa dia sekarang?
Sudah kelas berapa?
Semoga dia tetap menjadi gadis manis yang menyenangkan seperti pertama kali kami melihatnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj