Langsung ke konten utama

Untuk Abang Sebelah Rumah

Untuk Abang sebelah rumah,
surat ini kutulis dengan ketidaktahuan maksudku menulis surat ini. Aku hanya ingin. Entah, mungkin sebenarnya perlu. Aku pun tak tahu bagaimana menulis prolog yang baik dalam surat ini. Ada berjuta kata yang berjejal dalam kepalaku saat ini yang ingin kutulis. Namun, jari-jari ini kewalahan untuk merunut satu per satu kata dan memilah kata mana yang harus ditulis terlebih dahulu.

Untuk Abang sebelah rumah,
Ini memang surat cinta untukmu. Ya, aku yang mencintaimu. Sejak setahun yang lalu, Bang. Rasa itu muncul tanpa ketukan di pintu, tanpa pula ada salam. Dia tiba-tiba sudah berada di dalam ruang yang bernama hati. Hatiku, Bang. Menyusuri setiap sudut di dalamnya, menyebarkan suka cita dan perasaan yang indah di setiap jejak langkah yang ia tinggalkan di sana. Di hatiku, Bang. Satu-satunya alasan mengapa aku jatuh cinta padamu adalah, aku jatuh cinta karena terbiasa. Sepertinya. Terbiasa dengan kehadiranmu setiap hari. Terbiasa mendengar suarumu setiap hari. Terbiasa melihat senyummu yang teduh setiap hari. Terbiasa tertawa bersama setiap hari. Terbiasa bertukar cerita setiap hari.

Untuk Abang sebelah rumah,
Surat ini mungkin akan tetap terbungkus rapi dalam amplopnya. Mungkin surat ini tidak akan pernah sampai pada tujuannya. Pada dirimu. Karena saat ini, aku masih ingin menyimpannya sendiri. Menikmatinya sendiri. Atau terlampau takut kah aku kalau-kalau kamu mengetahui isi hatiku? Ya, memang aku masih takut untuk mengungkapkannya di depanmu. Karena kupikir, mengatakannya hanya akan membuatku kehilangan dirimu. Jadilah aku seperti ini, Bang. Aku yang cinta diam-diam. Cinta sendiri. 

Untuk Abang sebelah rumah,
Saat aku menulis surat ini, aku juga tengah menanti SMS darimu. Berkali-kali kulirik layar ponselku. Berkali-kali juga kutemukan layar yang kosong. Tidak ada pesan darimu. Padahal sudah tiga hari kita tidak bertemu. Tidak bertukar kabar. Baru kudengar juga suara pintu rumahmu terbuka, tanda kamu baru pulang. Ah, siapa aku untukmu? Siapa aku yang harus kamu kirimi SMS setiap saat. Siapa aku yang harus kamu pikirkan. Siapa aku yang harus kamu ingat setiap waktu.

Untuk Abang sebelah rumah,
Entah sudah berapa kali kuhabiskan hari dan jam untuk memikirkanmu yang tidak pernah memikirkanku. Menyibukkan diri untuk mencari tahu tentangmu. Sampai akhirnya aku tahu silsilah keluargamu, si anak sulung dari lima bersaudara itulah dirimu. Aku tahu makanan dan minuman kesukaanmu. Aku tahu ukuran baju, celana, dan sepatumu. Aku tahu apa yang sedang dan akan kamu kerjakan. Aku tahu lagu kesukaanmu. Aku tahu parfum apa yang kamu pakai. Dan aku pun tahu kamu adalah seorang pria yang tengah dinanti oleh seorang wanita cantik di pulau seberang.  

Maaf, tak seharusnya aku jatuhkan hati ini padamu. Satu kesalahan besar, Bang. Meski hanya aku yang rasa, sendiri, tapi aku telah melukai hatinya di sana. Meski kamu tidak pernah tahu perihal hati ini, tetap saja aku telah menyakiti hatinya. Dia di sana yang selalu menantimu, menghadiahimu dengan kesetiaan dan kepercayaan, disakiti oleh aku yang cinta padamu diam-diam.

Untuk Abang sebelah rumah,
Selama aku mengenalmu, sedalam itu pula aku mengetahui pribadimu. Semakin aku tertarik pula dalam pesonamu. Kamu bukanlah tipe pria yang merasa tampan sedunia. Kamu bukanlah pria yang temperamental. Terbukti, selama aku didekatmu meski aku membuatmu susah dan jengkel karena ulahku, kamu tetap akan tenang, tidak marah, malah menasihati. Kamu lah pria dengan hati malaikat, Bang. Tak pernah kulihat kau mencari onar dengan orang lain, membenci pun amat kamu hindari. Kamu menyayangi dengan tulus, selayaknya kamu tidak akan pernah disakiti. Kamu memberi tanpa takut akan ada yang membohongi. 

Untuk Abang sebelah rumah,
Sering kali pipi ini merona dan menghangat tiba-tiba ketika kau datang. Datang menemui ibuku padahal. Bukan untuk menemuiku. Sering kali mata ini mencuri pandang ke arahmu ketika kau asik mengobrol dengan ibuku. Sering kali aku tersenyum-senyum sendiri di belakangmu ketika kau bonceng aku naik motor ayah untuk mencari makan malam. Sering kali kaki ini lemas ketika tak sengaja bertemu denganmu di jalan. Sering kali bibir ini kelu ketika kau ajak bicara. Ah, Bang.. kau telah membuatku seperti ini. 

Untuk Abang sebelah rumah,
Aku tak akan menyalahkanmu jika aku mencinta sedemikian dalamnya padamu. Sudah kubilang, karena aku cinta sendiri. Karena terbiasa pula. Aku tahu risikonya, dari awal malah. Bahwa suatu waktu, ada saatnya aku harus berhenti. Melepaskan cinta yang selama ini kujaga. Bahwa suatu waktu nanti, aku akan patah hati lalu sakit hati. Biarlah semua itu terjadi. Bukankah begitu risiko bagi setiap pecinta? Kalau cintanya tak berbalas, ya patah hati. Tapi, biarkan semuanya seperti ini sekarang. Aku tetap mencinta, dan kamu tetap tidak tahu. Biarkan aku diam-diam mencuri pandang ke arahmu, Bang. Biarkan aku memandangmu lebih lama. Menghirup aroma tubuhmu lebih dalam. Mendengar suaramu lebih lama. Karena jika tiba saatnya aku patah hati nanti, aku telah puas dengan itu semua. Aku telah memiliki kenangan tentangmu.

Untuk Abang sebelah rumah,
Jika suatu saat kau menemukan surat ini dan membacanya, kuharap aku tidak ada di sana bersamamu. Kalaupun aku ada di sana bersamamu, kumohon jangan pandangi aku. Anggap saja aku tak ada. 

Untuk Abang sebelah rumah,
Tak apa jika kelak setelah membaca surat ini, kau jadi membenciku. Atau malah menertawaiku terpingkal-pingkal karena kebodohanku ini. Kuharap ketika kau membacanya, kita telah memiliki kisah yang lain, agar kau tak perlu menghiraukannya, agar aku tak terlalu patah hati karena kehilanganmu. Kuharap ketika kau membacanya, kita telah menjadi kita yang berbeda, atau kah kita yang bersama.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj