Langsung ke konten utama

Teruntuk Gigiku Tersayang

Masihkah kau marah padaku?
Sampai kapan kau akan begini?
Tak tahu kah kau ulahmu itu membuatku kesakitan?

Sudah lima hari ini kau sungguh tak bersahabat denganku. Pagi, siang dan malam kerjamu hanya merajuk. Membuatku meringis kesakitan, sampai tak bisa makan seharian. Pipiku jadi bengkak bagai menguyah bakpao bulat-bulat jika kau tahu. Kuelus-elus kau agar membaik, tapi tak kunjung juga kau mereda. 

Apa salahku, gigi?
Tiga kali sehari kubersihkan dirimu, dengan pasta gigi dan obat kumur yang terbaik. Makan pun aku jaga. Coklat, es krim, gulali, kue, dan biskuit jarang kutoleh. Tetapi kenapa kau tiba-tiba marah padaku begini?

Jadinya aku tak bisa melakukan apa-apa, kerjanya hanya tidur sambil terus mengelus-elus pipi yang semakin besar karena bengkak. Banyak makanan enak yang tak bisa kumakan, padahal si perut meronta-ronta minta diisi, tetapi kau tetap merajuk tak lekas membaik. Kasihlah sedikit pada temanmu si perut itu, pikirkan nasibnya jika aku tak makan. Bosan sudah aku hanya minum susu dan jus sepanjang hari, sarapan lah, makan siang lah, hingga makan malam. 

Sudahilah marahmu itu, gigi. Malu aku lama-lama keluar rumah dengan pipi seperti ini. Lekaslah membaik. Aku sungguh sayang padamu, sampai kutolak dokter gigi untuk mencabut dirimu dari si gusi. Jika kusikat gigi pun, sebisa mungkin tak menyakitimu dengan menggosoknya terlalu keras.

Aah, kau terlampau marah padaku rupanya. Walau sudah kujaga dan kurawat dengan penuh kasih sayang, tetapi tetap saja kau semakin meradang. Cenat-cenut..cenat-cenut.. begitulah ulahmu. Menampar-nampar pipi, menjalari setiap saraf di gusi hingga ke kepala. Saudara-saudarmu yang lain pun jadi terkena dampak amarahmu, kau tahu? Mereka jadi murung, sama-sama tak bisa kupakai untuk makan. 

Aku ingin makan yang enak lagi. Setiap hari abangku masak dan aku hanya melihatnya saja, dan menghirup aromanya yang menggiurkan. Aku tidak bisa menulis surat beberapa hari ini, aku ingin menulis surat lagi sekarang. Pokoknya aku ingin seperti biasa lagi. Bosan aku tiap hari hanya minum susu dan diam di tempat tidur, membujukmu yang tak pernah mau berbaikan secepatnya.

Ayolah, gigi..sudahi marahmu. Aku kesakitan, nih.
Maukah kau berbaikan sekarang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj