Langsung ke konten utama

Secangkir Cappucino

Kita tidak pernah menyangka akan menjadi seperti sekarang ini, sejak perkenalan kita dua tahun lalu. Dan kita pun tak pernah tahu, sejak hari itu, waktu terus membawa kita untuk saling mendekat. Kita bukanlah dua orang yang dipertemukan oleh hal yang sama. Kita bertemu dengan apa adanya diri kita. Aku begini. Kamu begitu. Kita dipertemukan tanpa ada satu hal pun alasan kenapa kita dipertemukan. Aku pikir itu adalah hasil dari konspirasi alam dan semesta terhadap kita.

Kita hanya dipertemukan oleh rasa nyaman yang timbul ketika kita berjalan bersama. Waktu yang bergulir di samping kita membuat rasa nyaman itu berubah menjadi sebuah kebiasaan. Kita terbiasa untuk selalu bersama dalam segala kesempatan. Jika ada kamu, sudah pasti aku pun ada di sana. Begitu juga sebaliknya. 

Kita tetap menjadi diri kita sendiri, bahkan setelah dua tahun bersama. Kita tetap dua orang yang berbeda. Dan kita tidak perlu menjadi sama dan satu. Kita hanya berusaha untuk saling melengkapi. Jadilah kita seperti ini. Tetap bersama, terlihat satu, meski nyatanya ada dua. Kau dan aku. Ada A dan B. Dua abjat berbeda namun selalu beriringan.

Tidaklah kita selalu sepaham. Berkali-kali kita lalui hari dengan perbedaan pendapat. Yakinlah karena kita sudah begitu saling percaya, jadinya kita akan selalu kembali. Saling menerima dan mengerti. Tidak jarang dengan kata maaf. Diiringi juga dengan air mata. Kita kembali untuk saling mengisi dan takut kehilangan lalu tidak mampu dapat penggantinya.

Kita tidak perlu seperti persahabatan Harry dan Ron dalam Harry Potter. Atau Nobita dan Doraemon. Kita cukuplah seperti ini. Seperti Titi dan Evi. Titi yang pecicilan dan Evi yang pendiam. Titi yang panikan dan Evi yang santai. Titi yang emosional dan Evi yang kalem. Titi yang lebih suka baca dan Evi yang lebih suka mendengarkan musik. 

Dari sekian perbedaan itu, ada satu hal yang dapat membuat kita terlihat satu. Hanya secangkir cappucino. Kita sama-sama suka kopi, terlebih cappucino. Entah sudah berapa cup dan cangkir cappucino kah yang telah kita habiskan bersama. Menyesap aromanya bersama. Dalam-dalam. Membiarkan uap panasnya memenuhi pernapasan kita. Membuat kita sedikit relax. Harum. Itulah yang (sepertinya) membuat kita candu. Dan kita tidak akan melewatkan kesempatan jika ada waktu untuk mengopi bersama, apapun situasi dan tempatnya.

Kita dapat bertahan dalam diam selagi ada cangkir-cangkir cappucino di hadapan kita. Tak perlu banyak bicara. Cukup menyesap aromanya lalu meneguknya perlahan. Maka kita pun bercerita, selayaknya bercakap. 

Sudah berapa lama kita tidak ngopi bareng?
Ketika bertemu nanti kita harus ngopi pokoknya, ya..

Dan pada secangkir cappucino, kita harus berterima kasih. Atas aroma dan rasanya yang selalu dapat membuat kita kembali, bersama, bercerita, mengenang, dan membuat cerita baru. Tentang kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengeluhmu

Sumber foto: imgarcade.com Kau tak mengeluh pada bercangkir kopi hitam, yang mengepul panas di atas meja.  Kau tak mengeluh pada berbatang rokok, seperti yang sering kawanmu sulut di ambang pintu.  Kau tak juga mengeluh pada bergelas vodka, dari meja di sudut bar yang temaram.  Kau cukup mengeluh pada heningnya hati.  Pada lelahnya langkah kaki.  Kau cukup dengan dirimu sendiri.  Tak maukah kau bagi denganku?

Dari Bakmi Kusdi sampai Holland Bakery

Ada yang bertanya kenapa aku mau repot dan capek-capek naik kereta dari Stasiun Jakarta Kota setiap Jumat malam sepulang kerja untuk pulang ke rumah di Bogor, padahal dari arah kantor atau kosanku di Jalan Pemuda-Rawamangun lebih dekat ke Stasiun Manggarai atau naik bus dari Terminal Pulo Gadung? Atau bahkan tidak perlu jauh-jauh sampai Manggarai atau Pulo Gadung, tinggal menunggu di halte bus depan Kampus UNJ pun sebenarnya sudah ada bus ex APTB yang lewat sejam sekali.  Pasti capek, kan? Belum lagi kalau sudah ditambah dengan kemacetan Jakarta di jam-jam pulang kerja, bahkan sampai pukul delapan malam pun masih saja ramai dan padat kendaraan. Juga kondisi Trans Jakarta yang penuh, mana mungkin dapat tempat duduk sedangkan jarak yang ditempuh lumayan jauh, dari Dukuh Atas sampai Kota. Masih harus ditambah dengan jam pulang kerja yang seringnya tidak tepat waktu. Pukul enam tiga puluh adalah waktu yang paling cepat, terkadang bisa sampai pukul delapan lebih.  Jawabanku

Merdeka Berekreasi bersama Sang Kekasih!

"Ayok, kita jalan!" ajakku lusa malam kemarin kepada beberapa teman. "Sorry, Ti, nggak bisa, udah ada acara lain." Seiya sekata mereka memberikan jawaban. Tanggal 17 Agustus di kalender boleh saja sama merah dan menandakan semua orang bebas dari pergi bekerja dan sekolah, tapi belum tentu kau memiliki ketersediaan waktu yang tepat sama. Baik, aku bisa pergi jalan-jalan sendiri. Lebih baik dibandingkan hanya berdiam diri seharian di kamar kosan dan tidak melakukan apa pun selain makan, menonton drama Korea, dan tidur, juga menghindari risiko mengulangi ketiga kegiatan tersebut. Malam tanggal 16 sebelum pergi tidur, alarm kuatur seperti hari-hari kerja biasa. Bahkan aku terbangun lebih awal dibandingkan dengan jam alarm yang telah ku- set . Bangun terpagi di hari libur, gumamku sambil mengucek mata dan meregangkan badan ke kanan dan kiri. Setelah ritual ala anak kosan terselesaikan-mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, dan mandi-aku siap menjelaj